Oleh Novita Sari Yahya – Penulis dan Peneliti
Dari Nilai A ke Jurusan Biologi
Ilmu pengetahuan yang belum pernah saya dalami serius adalah matematika dan fisika. Ironisnya, saat masih SD di Malaysia, saya bisa meraih nilai A di semua mata pelajaran. Saat SMP, nilai Ebtanas matematika saya mencapai 9 lebih. Namun, ketika masuk SMA, saya baru sadar: ternyata otak saya tidak seindah rapor.
Matematika mulai menampakkan taringnya, fisika berubah jadi monster yang lebih menakutkan dari guru killer, sementara biologi dan bahasa terasa seperti pacar yang manis—selalu bikin nyaman. Tidak heran akhirnya saya memilih jurusan biologi. Pilihan aman.
STEM dan Warisan Soekarno
Kini istilah kerennya adalah STEM—Science, Technology, Engineering, and Mathematics. Katanya, itu fondasi dunia modern. Tapi jauh sebelum istilah itu populer, Presiden Soekarno sudah mengirim ribuan mahasiswa Indonesia ke Rusia, Tiongkok, Eropa Timur, bahkan Korea Utara. Tujuannya jelas: pulang, lalu bangun Indonesia.
Soekarno adalah figur revolusioner yang penuh semangat. Dengan pidatonya, ia bisa membuat rakyat bergetar. Seruannya “Ganyang Malaysia!” sampai kini masih menjadi kutipan legendaris. Namun di balik retorika yang membakar itu, ada paradoks: beberapa kawan seperjuangan justru dipenjara karena berbeda haluan. Tokoh seperti Mohammad Natsir, Sutan Sjahrir, dan Buya Hamka pernah merasakannya.
Kritik Bung Hatta tentang “persatean” Nasakom pun tenggelam dalam gelombang retorika Bung Karno yang dramatis dan memikat.
Mahasiswa Indonesia di Blok Timur
Seandainya tragedi 1965 tidak terjadi, mungkin sejarah Indonesia berjalan lain. Ribuan mahasiswa yang belajar di luar negeri bisa pulang dan membangun negeri. Bayangkan jika mereka membawa ilmu dari Rusia, Eropa Timur, atau Tiongkok—ilmu yang kala itu bahkan belum ada di Cambridge atau Oxford.
Korea Utara, misalnya, meski miskin, unggul dalam teknologi nuklir dan kesehatan. Mahasiswa Indonesia di era itu belajar teknik perkeretaapian Soviet, rekayasa nuklir, hingga kedokteran tropis berbasis sistem komunal Tiongkok. Ilmu-ilmu semacam itu jarang dipelajari di universitas Barat karena dianggap tidak sesuai “selera kapitalisme.”
Namun semuanya berakhir tragis. Banyak dari mereka dibantai, dipenjara, atau tak bisa pulang. Indonesia kehilangan generasi emas ilmu pengetahuan.
1965: Ilmu yang Hilang dan Generasi yang Terkorbankan
Tragedi politik 1965 bukan hanya soal perebutan kekuasaan, melainkan juga pemangkasan brutal terhadap potensi akademik bangsa. Ribuan intelektual yang dianggap “kiri” lenyap tanpa jejak.
Mahasiswa Indonesia yang belajar di luar negeri banyak menjadi eksil, hidup di pengasingan dari Praha, Moskow, hingga Beijing. Mereka takut kembali karena khawatir ditangkap.
Pertanyaannya kini: seandainya mereka pulang dan berkarya, apakah Indonesia bisa menyalip Tiongkok? Pertanyaan itu menggantung tanpa jawaban.
Orde Baru dan Lahirnya Ilmu “Komisiologi”
Memasuki era Orde Baru, Soeharto membangun sistem pembangunan dengan arahan Barat: Amerika Serikat, IMF, dan Bank Dunia. Mahasiswa Indonesia mulai dikirim ke AS, Inggris, Australia, dan Belanda.
Hasilnya? Banyak yang pulang membawa ilmu, tapi pemerintah tidak menyiapkan ruang untuk menampungnya. Jurusan seperti astrofisika, bioteknologi, atau teknik nuklir tidak punya tempat.
Lulusan-lulusan cemerlang itu akhirnya bekerja di perusahaan asing atau menjadi konsultan proyek. Sementara yang berkembang justru “ilmu baru” khas Indonesia: komisiologi—seni mendapatkan komisi dari setiap proyek sumber daya alam.
Inilah masa ketika jargon paling populer bukan STEM, melainkan asal bapak senang dan bapak/ibu komisi.
Sarjana Luar Negeri: Dari Beasiswa ke Buzzer
Apa yang dilakukan para sarjana jebolan kampus top dunia? Banyak yang akhirnya bekerja di perusahaan asing, atau sibuk mengejar jabatan komisaris BUMN. Bukan karena prestasi, melainkan koneksi.
Lebih parah lagi, sebagian berubah menjadi gelandangan politik di dunia maya. Kerjaannya ribut di media sosial, membuat meme, jadi buzzer. Bila bos yang didukung menang pilpres, mereka langsung naik pangkat jadi staf ahli atau komisaris.
Ironisnya, mereka lebih sering memproduksi hoaks dan gosip ala emak-emak komplek daripada jurnal riset. Dari beasiswa rakyat, hasilnya malah jadi content creator politik.
Matematika dan Fisika: Dari Saya ke Generasi Berikutnya
Mari kembali ke secangkir kopi pagi—tentang kelemahan saya di bidang matematika dan fisika. Untungnya, ada harapan. Putra saya yang tertua justru cemerlang dalam dua bidang itu. Ia lulus teknik sipil dari perguruan tinggi swasta, dengan hasil tes IQ tinggi di aspek logika.
Namun ketika saya dorong lanjut kuliah S2, jawabannya sederhana: “uang lebih penting daripada ijazah.”
Itulah salah satu akar masalah generasi muda Indonesia: pragmatis. Mereka lebih tergoda hasil cepat daripada proses panjang. Meski begitu, saya masih optimistis, akan tiba saatnya Indonesia kembali ke masa awal kemerdekaan—masa ketika manusia Indonesia lebih haus ilmu daripada haus jabatan.
Harapan Baru dari Generasi Z
Beberapa waktu lalu, ada berita menggembirakan. Generasi Z mulai bangkit dengan literasi. Toko-toko buku kembali ramai, komunitas membaca tumbuh di kota-kota. Tanda bahwa gairah ilmu belum padam.
Harapan saya sederhana: lahirnya yayasan filantropi desa yang fokus pada riset dan teknologi sederhana. Dari desa bisa lahir pemikir besar, ahli matematika, bahkan fisikawan yang menciptakan mesin lebih cerdas dari Grok atau ChatGPT.
Bayangan saya tentang Indonesia adalah negeri yang modern namun tetap membumi; masyarakatnya gemar membaca, menulis, dan berdiskusi. Negara yang bukan hanya pandai membuat meme politik, tapi juga menghasilkan pengetahuan yang bermanfaat.
Referensi
- Benedict Anderson, A Preliminary Analysis of the October 1, 1965 Coup in Indonesia (Cornell University, 1971).
- John Roosa, Pretext for Mass Murder (University of Wisconsin Press, 2006).
- Hilmar Farid, “Indonesia’s Original Sin: Mass Killings and Capitalist Expansion, 1965–66,” Inter-Asia Cultural Studies, 2005.
- Tempo Magazine, “Mereka yang Tak Bisa Pulang: Kisah Eksil 1965” (Edisi Khusus, 2015).
- Kompas, “Generasi Z dan Tren Membaca: Toko Buku Kembali Ramai” (2024).
- David Bourchier, Illiberal Democracy in Indonesia (Routledge, 2014).
Tentang Penulis:
Novita Sari Yahya – penulis dan peneliti.
Hobi: mengamati tingkah laku manusia Indonesia sambil scroll media sosial.
Karya buku:
- Romansa Cinta
- Padusi: Alam Takambang Jadi Guru
- Novita & Kebangsaan
- Makna di Setiap Rasa (Antologi 100 Puisi Nasional & Internasional)
- Siluet Cinta, Pelangi Rindu
- Self Love: Rumah Perlindungan Diri
📞 Kontak pembelian buku: 0895-2001-8812
📸 Instagram: @novita.kebangsaan
Komentar