Integritas yang Lebih Kuat dari Ketakutan
Abstrak
Artikel ini menelusuri kisah unik Mohammad Natsir dan Brigadir Jenderal Daan Yahya di tengah represi Orde Baru, ketika keduanya lolos dari pengawasan ketat rezim Soeharto. Dengan pendekatan reflektif berbalut satire lembut, tulisan ini menguraikan alasan di balik “kebebasan” mereka: reputasi moral yang tak tergoyahkan, peran diplomasi Natsir yang terlupakan—termasuk kontribusinya terhadap pendanaan internasional di era Soekarno dan awal Orde Baru—serta integritas militer Daan Yahya yang menjadi teladan bagi perwira muda. Fokus pada Petisi 50 (1980) dan inisiatif kemanusiaan pasca-1965 menyingkap ambivalensi kekuasaan Soeharto antara stabilitas dan legitimasi moral. Kisah ini bukan sekadar catatan sejarah, melainkan pengingat bahwa nurani lebih kuat daripada dekrit presiden. Natsir dan Daan Yahya menjadi “zona aman” di lanskap politik penuh ketakutan, meninggalkan pelajaran abadi bagi demokrasi Indonesia kontemporer.
Kata kunci: Mohammad Natsir, Daan Yahya, Soeharto, Orde Baru, Petisi 50, integritas moral, diplomasi Indonesia, kajian militer
Ketika Soeharto Berhitung Sebelum Bertindak
Lucu bila diingat: Jenderal Besar Soeharto, yang dikenal tegas dan dingin dalam menjaga “stabilitas nasional”, pernah tampak ragu menghadapi dua sosok yang tidak berkuasa secara formal—Mohammad Natsir dan Brigadir Jenderal Daan Yahya. Pada masa ketika kritik bisa berarti makar, keduanya tetap bebas berbicara dan hidup tanpa rasa takut. Ironisnya, banyak tokoh lain justru diseret ke pengasingan atau Pulau Buru, tempat matahari tenggelam bersama harapan.
Soeharto tahu siapa mereka. Natsir dan Daan Yahya bukan sekadar nama, melainkan bagian dari fondasi sejarah republik—dari revolusi kemerdekaan hingga pertarungan ideologi pasca-1965 (Kahin, 1952). Terhadap dua nama itu, Soeharto berhitung cermat. Sebab, menindas orang berintegritas sama artinya mempermalukan kekuasaan sendiri. Dalam bangunan kuasa yang keras, Soeharto sadar: moralitas adalah lawan yang tak bisa ia kalahkan.
Natsir dan Diplomasi yang Terlupakan
Mohammad Natsir bukan hanya orator ulung dan pemimpin Masyumi. Ia adalah diplomat yang bekerja dalam diam—seorang arsitek keuangan republik muda yang menyelamatkan Indonesia dari krisis pascaperang. Pada awal 1950-an, Natsir memimpin misi diplomasi ke Jepang untuk menegosiasikan reparasi perang. Ia menolak kompensasi tunai, menuntut agar Jepang menebus masa lalunya dengan investasi jangka panjang dan bantuan industri. Hasilnya: Perjanjian Reparasi Indonesia–Jepang (1958) yang menjadi fondasi pembangunan ekonomi Orde Baru (Dzulfikriddin, 2012).
Ironisnya, ketika rezim Soeharto menikmati hasil dari diplomasi itu, nama Natsir disisihkan dari narasi resmi. Pemerintah membangun mitos pembangunan tunggal, seolah semua capaian ekonomi lahir dari satu figur. Padahal, Natsir-lah yang sejak lama menanam akar kepercayaan internasional. Sebagai Perdana Menteri (1950–1951), ia juga membuka jalur kerja sama dunia Islam, menggalang bantuan sosial dan pendidikan dari Timur Tengah. Jaringan itulah yang kemudian dimanfaatkan pemerintah Indonesia dalam dekade awal Orde Baru (Hakiem, 2019).
Namun, Natsir memilih berjarak. Ia menolak kemewahan dan kekuasaan, sebab baginya kebebasan berpikir lebih penting daripada fasilitas negara. Di saat banyak tokoh berebut kursi, Natsir memilih pinggir jalan sejarah—karena di sanalah nurani bisa tetap bernapas.
Daan Yahya dan Warisan Jahja Datoek Kajo
Brigadir Jenderal Daan Yahya adalah putra Jahja Datoek Kajo, anggota Volksraad dua periode dan pejuang Minangkabau yang menanamkan nilai tanggung jawab serta cinta tanah air. Lahir di Padang Panjang pada 5 Januari 1925, Daan Yahya tumbuh di lingkungan intelektual yang percaya bahwa kemerdekaan mesti diperjuangkan dengan ilmu dan keberanian.
Ia terlibat dalam Peristiwa Rengasdengklok, ikut mendorong Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan. Pasca-revolusi, Daan menjabat Gubernur Militer Jakarta pertama (1948–1950) dan kemudian Panglima Divisi Siliwangi, berperan menumpas aksi Westerling di Jawa Barat (Tirto.id, 2017).
Dikenal tegas tapi bersahaja, Daan Yahya menolak militer dijadikan alat politik. Ia mengingatkan para perwira muda bahwa senjata hanyalah alat, bukan sumber kebenaran. Prinsip itu ia pegang sampai pensiun—ketika banyak rekan seperjuangan tergoda oleh jabatan dan bisnis (Yahya, 2023).
Peran Intelektual Militer Daan Yahya
Selain disiplin dan kepemimpinannya, Daan Yahya dikenal sebagai pemikir militer yang menekankan ketahanan moral bangsa sebagai bagian dari strategi pertahanan nasional. Ia mendukung Doktrin Pertahanan Rakyat Semesta, yang menyeimbangkan kekuatan senjata dan kekuatan moral masyarakat.
Daan sering tampil di forum militer dan kajian kebangsaan. Ia mengatakan, “Negara bisa bertahan tanpa pangkat, tapi tidak tanpa kejujuran.” Kalimat sederhana itu menjadi warisan penting bagi generasi perwira sesudahnya.
Antara Kekuasaan dan Moralitas
Soeharto memahami posisi moral dua tokoh ini. Natsir dengan ketenangan ulama; Daan Yahya dengan disiplin perwira. Mereka tak mudah dijatuhkan tanpa mencederai moral negara. Mereka tidak melawan dengan amarah, tapi dengan keteguhan hati—dan itulah yang paling ditakuti kekuasaan.
Ketika Petisi 50 (1980) mengguncang Orde Baru, Natsir dan Daan Yahya berdiri di barisan depan bersama A.H. Nasution, Hoegeng Iman Santoso, dan Ali Sadikin. Petisi itu mengkritik monopoli tafsir Pancasila oleh Soeharto demi kepentingan politik (Tempo, 1980; Haris, 2014). Pemerintah bereaksi keras, tapi terhadap Natsir dan Daan Yahya, Soeharto berhati-hati. Menahan mereka berarti mencoreng wajah moral republik.
Petisi 50 bukan sekadar protes, melainkan simbol bahwa moralitas belum mati di tengah politik yang menakutkan. Natsir dan Daan Yahya menunjukkan bahwa keberanian tidak selalu lantang—kadang justru sunyi tapi tajam.
Warisan Integritas di Tengah Sejarah
Daan Yahya wafat pada 1985, disusul Natsir delapan tahun kemudian. Mereka pergi tanpa harta berlimpah, tetapi meninggalkan warisan paling berharga: kepercayaan publik.
Dalam forum internasional seperti Liga Muslim Dunia, Natsir menyerukan penghentian kekerasan terhadap korban 1965 (Republika, 2008; Fuad Nasar, 2024). Ia menolak komunisme, namun juga menolak kekerasan atas nama ideologi. Di akhir hayatnya, Daan Yahya aktif membantu pendidikan pesantren di Sumatra Barat, menolak memanfaatkan koneksi militer untuk kepentingan pribadi.
Mereka membuktikan bahwa kejayaan sejati bukan pada pangkat atau proyek, melainkan pada kejujuran dan pengabdian.
Penutup: Dua Nama yang Tak Pernah Ditangkap
Mohammad Natsir dan Daan Yahya adalah dua nama yang tak pernah ditangkap—bukan karena mereka tak bisa ditangkap, tapi karena nurani mereka terlalu kuat untuk dipenjarakan.
Soeharto mungkin tidak takut pada mereka, tapi ia tahu: menindas orang jujur adalah kesalahan yang akan dihukum oleh sejarah. Kini, ketika demokrasi kerap kehilangan arah moral, kisah mereka menjadi pengingat bahwa kekuasaan bisa berganti, tapi integritas adalah fondasi bangsa yang tak lekang oleh waktu.
Dalam diam keduanya, Indonesia belajar arti keberanian paling sejati—keberanian untuk tetap jujur ketika semua orang memilih diam.
(Novita Sari Yahya — Penulis dan Peneliti | Mediapatriot.co.id)
Daftar Pustaka:
Dzulfikriddin, M. (2012). M. Natsir dalam Sejarah Politik Indonesia: Peran dan Jasa Mohammad Natsir. Mizan.
Feith, H. (1962). The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia. Cornell University Press.
Fuad Nasar. (2024). Pemikiran, Perjuangan, dan Keteladanan Mohammad Natsir.
Hakiem, L. (2019). Biografi Mohammad Natsir: Kepribadian, Pemikiran, dan Perjuangan. Pustaka Al-Kausar.
Haris, S. (2014). Dari Masyumi ke Petisi 50. LIPI Press.
Kahin, G. M. (1952). Nationalism and Revolution in Indonesia. Cornell University Press.
Republika. (2008, 20 Juli). Mohammad Natsir: Politik, Dakwah, dan Kemanusiaan.
Tempo. (1980, Mei). Petisi 50 dan Reaksi Pemerintah.
Tirto.id. (2017). Daan Yahya: Sejarah Hidup dan Heroisme Gubernur Militer Jakarta.
Yahya, D. (2023). Sosok Asli Minang yang Jadi Gubernur Pertama Jakarta dan Pangdam Siliwangi. Harian Haluan.




















