Samarinda,mediapatriot.co.id – Dalam setiap perceraian, persoalan yang paling sensitif dan emosional adalah hak asuh anak (hadhanah). Di balik putusan hakim yang tampak formal, tersimpan berbagai pertimbangan hukum dan moral yang kompleks. Menurut Roszi Krissandi, S.H., advokat sekaligus mahasiswa pascasarjana hukum, penentuan hak asuh bukan sekadar soal siapa orang tua yang lebih mampu, tetapi siapa yang lebih layak secara hukum dan kemanusiaan untuk menjamin tumbuh kembang anak.
“Hak asuh anak bukanlah hadiah bagi salah satu pihak, tetapi amanah yang harus menjamin kepentingan terbaik anak,” ujar Roszi Krissandi saat ditemui usai memberikan layanan hukumnya di Pengadilan Agama Samarinda, Senin (11/3/2025).
Roszi menjelaskan, pengadilan agama memiliki tolok ukur yang cukup jelas dalam memutuskan perkara hadhanah. Dalam praktiknya, hakim akan menilai dari beberapa faktor kunci yang sering kali menjadi penentu utama.
1. Usia Anak dan Kedekatan Emosional
Faktor usia anak menjadi penilaian awal. Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 105, anak yang belum mumayyiz (belum berusia 12 tahun) pada umumnya diasuh oleh ibunya, kecuali jika terdapat alasan kuat yang membuktikan sebaliknya.
“Namun, kedekatan emosional dan kemampuan mengasuh tetap jadi pertimbangan utama. Hakim akan melihat siapa yang secara nyata lebih hadir dalam kehidupan sehari-hari anak,” jelas Roszi.
2. Kemampuan Ekonomi dan Moral Orang Tua
Kemampuan ekonomi memang menjadi salah satu aspek, tetapi tidak menentukan secara tunggal. Hakim juga akan menilai rekam moral, kestabilan emosi, dan tanggung jawab masing-masing pihak.
“Ada banyak kasus di mana orang tua yang lebih mampu secara materi justru tidak mendapatkan hak asuh, karena dinilai kurang stabil atau tidak memberikan contoh moral yang baik,” ungkap Roszi.
3. Rekam Jejak Perkawinan dan Perlakuan terhadap Anak
Riwayat rumah tangga, termasuk apakah pernah terjadi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), penelantaran, atau perselingkuhan, menjadi bahan pertimbangan serius. Hakim menilai siapa yang lebih konsisten melindungi dan mendidik anak.
“Pengadilan tidak hanya membaca berkas, tapi juga menilai karakter melalui saksi, bukti, dan kehadiran pihak di persidangan,” ujar Roszi.
4. Kehadiran Bukti dan Saksi yang Meyakinkan
Dalam praktik hukum, pembuktian menjadi kunci. Banyak pihak yang gagal mendapatkan hak asuh karena tidak mampu menyajikan bukti objektif tentang keterlibatannya dalam pengasuhan anak.
“Bukti bisa berupa rekaman komunikasi, surat sekolah, laporan keuangan anak, hingga kesaksian tetangga atau guru. Semua itu memperkuat posisi hukum,” terang Roszi.
5. Prinsip Kepentingan Terbaik bagi Anak
Hakim pengadilan agama kini lebih progresif dalam menerapkan best interest of the child, yakni kepentingan terbaik bagi anak sebagai prinsip utama.
“Dalam konteks modern, hadhanah bukan lagi sekadar hak orang tua, tapi hak anak untuk mendapatkan pengasuhan terbaik. Itu yang seharusnya menjadi roh dari setiap putusan,” tegas Roszi.
Advokasi Kemanusiaan di Balik Sengketa Hadhanah
Roszi Krissandi menilai bahwa perjuangan hak asuh anak seharusnya tidak menjadi ajang balas dendam antara suami-istri. Sebaliknya, pengadilan harus menjadi ruang untuk menegakkan nilai kemanusiaan dan kepentingan anak.
“Perceraian bisa memutus hubungan suami-istri, tapi tidak boleh memutus kasih sayang orang tua terhadap anak. Itulah yang saya sebut keadilan yang beradab,” tutup Roszi Krissandi.
Tentang Narasumber:
Roszi Krissandi, S.H. — Advokat, Mahasiswa Pascasarjana sekaligus Praktisi Hukum Keluarga, dan Pimpinan Krissandi Law Office.














Komentar