mediapatriot.co.id. Pacitan —
Ritual pertanian yang dilakukan petani Jawa sejak masa lampau bukan sekadar tradisi turun-temurun yang sarat makna spiritual, namun dalam banyak praktiknya memiliki korelasi kuat dengan prinsip-prinsip ilmiah pengendalian hama dan penyakit tanaman padi. Di Kabupaten Pacitan, yang memiliki karakter geografis perbukitan, pesisir, serta kultur agraris yang masih kuat, praktik-praktik tersebut masih dijumpai hingga kini.

Beragam ritual seperti penentuan waktu tanam berdasarkan pranatamangsa, pemasangan sesaji, bongkok sawah, hingga ritual tolak bala, selama ini dipahami sebagai kearifan lokal. Namun jika ditelaah lebih jauh, ritual-ritual tersebut menyimpan logika ekologis yang relevan dengan konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT) modern.
Pranatamangsa, misalnya, merupakan sistem penanggalan tradisional Jawa yang disusun berdasarkan pengamatan panjang terhadap fenomena alam. Perubahan rasi bintang, arah angin, intensitas hujan, suhu lingkungan, hingga perilaku hewan dan tumbuhan dijadikan indikator pergantian musim. Aktivitas hewan seperti bunyi serangga tertentu saat kemarau, perpindahan sarang semut, hingga gugurnya daun jati, menjadi sinyal alami bagi petani dalam menentukan waktu tanam.
Dalam konteks pengendalian hama, pranatamangsa berfungsi untuk menghindari fase-fase kritis ketika populasi hama berada pada puncaknya. Salah satu praktik yang masih dipegang petani Jawa adalah menghindari penanaman dan pemupukan saat bulan purnama. Secara ilmiah, fase bulan purnama berkorelasi dengan meningkatnya aktivitas reproduksi sejumlah serangga hama. Pada saat yang sama, tanaman padi yang baru pindah tanam atau sedang diberi pupuk berada pada kondisi stres fisiologis, sehingga rentan terhadap serangan hama dan penyakit.
Ritual pemasangan sesaji juga memiliki dimensi ekologis. Sesaji yang terdiri dari makanan pokok, bunga, dan kemenyan, berkontribusi terhadap keseimbangan agroekosistem. Nasi dan bahan organik lainnya menjadi substrat bagi berkembangnya mikroorganisme menguntungkan di tanah. Penelitian mikrobiologi tanah menunjukkan bahwa jamur dan bakteri seperti Trichoderma, Actinomycetes, dan mikoriza berperan penting dalam meningkatkan kesuburan tanah serta menekan patogen penyebab penyakit.
Bunga yang digunakan dalam sesaji berfungsi sebagai pemikat serangga musuh alami hama. Konsep ini sejalan dengan pemanfaatan tanaman refugia dalam pertanian modern, di mana kehadiran bunga berwarna-warni mampu menarik predator alami seperti laba-laba, kepik, tawon parasitoid, dan lalat predator yang efektif menekan populasi wereng, penggerek batang, dan hama lainnya.
Kemenyan, yang berasal dari getah pohon genus Boswellia, mengandung senyawa volatil dan minyak atsiri. Asap kemenyan diyakini dapat mengganggu aktivitas hama tertentu, sekaligus memiliki potensi antibakteri dan antijamur. Dalam perspektif ilmiah, senyawa terpenoid yang dilepaskan saat pembakaran dapat berperan sebagai repelan alami.
Pemasangan bongkok sawah, berupa pelepah daun kelapa kering yang ditancapkan di lahan, juga memiliki fungsi ekologis yang nyata. Selain berfungsi sebagai simbol perlindungan dan penanda lahan, bongkok sawah menjadi tempat bertengger burung hantu (Tyto alba), predator alami tikus sawah. Satu ekor burung hantu dewasa mampu memangsa hingga sepuluh ekor tikus per malam, sehingga efektif menekan populasi hama pengerat.
Struktur pelepah kelapa yang berongga juga menyediakan habitat mikro bagi musuh alami serangga hama. Laba-laba, semut, dan kepik dapat bersembunyi dan berkembang biak di dalamnya. Selain itu, bongkok sawah berperan sebagai penangkap embun yang membawa mikroba dari udara, membantu memperkaya populasi mikroorganisme menguntungkan di lahan.
Dari sisi nutrisi, pelepah daun kelapa mengandung silika dan kalium dalam jumlah tinggi. Silika berfungsi memperkuat jaringan tanaman, meningkatkan ketahanan terhadap serangan hama dan penyakit, serta mengurangi stres lingkungan. Kalium berperan penting dalam kualitas hasil panen dan daya tahan tanaman terhadap kekeringan maupun serangan patogen.
Ritual tolak bala yang dilakukan melalui doa bersama di area persawahan juga memiliki dampak sosial yang signifikan. Kegiatan ini memperkuat solidaritas antarpetani, mendorong keseragaman waktu tanam, dan secara tidak langsung menekan siklus hidup hama yang biasanya berkembang pesat pada pola tanam tidak serempak.
Di Pacitan, hama utama tanaman padi meliputi wereng batang cokelat, penggerek batang, tikus sawah, keong mas, walang sangit, dan ulat grayak. Sementara penyakit utama yang sering dijumpai antara lain blas, hawar daun bakteri, tungro, busuk pelepah, bercak cokelat, bakanae, dan busuk malai. Keberadaan musuh alami seperti laba-laba, parasitoid Trichogramma, burung hantu, ular sawah, hingga mikroba antagonis seperti Trichoderma dan Bacillus, menjadi kunci pengendalian yang berkelanjutan.
Penggunaan bahan alami seperti MICESSLA—ramuan daun mimba, cengkeh, salam, sirsak, dan laos—serta bubur California berbahan belerang dan kapur, semakin menegaskan bahwa pendekatan tradisional dan ilmiah dapat berjalan beriringan. Praktik-praktik ini mendukung pertanian ramah lingkungan, menekan ketergantungan pada pestisida kimia, serta menjaga keseimbangan ekosistem sawah.
Dengan memadukan kearifan lokal dan ilmu pengetahuan modern, petani Pacitan membuktikan bahwa ritual bukan sekadar warisan budaya, melainkan strategi adaptif yang relevan dalam menghadapi tantangan pertanian masa kini.
Reporter: Sadiran/ mediapatriot.co.id Perwakilan Jawa Timur













Komentar