Penyuluh Eks Napiter Dibawah Koordinasi BNPT Melalui Soft Approach Berdampak Lebih Besar Merawat Harmoni Sosial

 

Jakarta – Perubahan tidak pernah instan. Di tengah upaya pemberantasan terorisme, deradikalisasi adalah pekerjaan sunyi yang menuntut kesabaran, waktu panjang, dan kesediaan mendengar. Di ruang-ruang kecil yang jauh dari sorotan media, para penyuluh seperti Gunawan bekerja tanpa gegap gempita. Mereka mendekati para eks narapidana terorisme (napiter) dengan pendekatan yang lembut, manusiawi, dan konsisten.

“Kita melakukan penyuluhan ini tidak sekali waktu, bisa berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Perlu kesabaran mengubah bagaimana yang tadinya terjebak dalam paham radikal terorisme menjadi warga yang berharmoni dalam NKRI,” kata Gunawan, penyuluh eks napiter di Bima, dalam webinar diskusi penguatan aktor resolusi konflik, Rabu (14/5/2025).

Pekerjaan seperti ini tidak bisa dilakukan hanya dengan dokumen program. Ia menuntut kepekaan membaca situasi sosial dan kondisi psikologis para eks napiter. Gunawan menjelaskan, pendekatan deradikalisasi dibagi dua: soft approach dan hard approach.

Soft approach dijalankan oleh penyuluh, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), tokoh agama, dan masyarakat setempat. Sementara hard approach adalah domain aparat keamanan seperti Densus 88, TNI, dan Polri.

Di Bima—mencakup Kota Bima, Kabupaten Bima, dan Dompu—tercatat ada 71 eks napiter. Sebanyak 30 orang sudah kembali mendukung NKRI, sementara sisanya masih dalam proses. Napiter aktif ada 17 orang. Gunawan dan timnya tidak membagi mereka secara hitam-putih, melainkan membaca dinamika dari kategori merah (radikal), kuning (napiter aktif), dan merah putih (sudah NKRI).

Gunawan menyebut bahwa faktor yang mendorong seseorang terlibat dalam jaringan teror sangat kompleks: ideologi, kebodohan, ekonomi, budaya, hingga kebijakan pemerintah. Karena itu, pendekatannya tidak bisa tunggal. Ia bahkan tak langsung bicara soal ideologi. Di pertemuan pertama, biasanya mereka hanya mengobrol soal kehidupan, keluarga, dan pekerjaan. Perlahan, barulah masuk ke ranah ideologis dan nasionalisme.

“Saya gunakan logika: coba kamu lihat bagaimana tugas polisi sekarang menjamin keamanan, kalau ada yang diperkosa misalnya, ibu kamu, bibi kamu, saudara kamu, coba bayangkan. Jadi tekankan keamanan, jangan dulu ke bahwa NKRI itu harga mati,” ujarnya.

Penyuluhan ini juga tidak melulu tentang ceramah. Di Bima, Gunawan dan rekan-rekannya membantu eks napiter dalam urusan ekonomi dan pendampingan hukum. Mereka juga menggandeng keluarga dan komunitas sekitar agar proses reintegrasi berjalan mulus. Di Poso, ia bahkan pernah merangkul orang tua dari anak yang masih bertahan di Gunung Biru, agar si anak mau turun.

Pekerjaan ini memang tidak mencolok. Tapi Gunawan yakin, dampaknya jauh lebih besar dibanding tindakan represif. Di titik inilah penyuluh, yang juga bergerak di bawah koordinasi BNPT, menjadi ujung tombak negara dalam merawat harmoni sosial.

“Satu peluru mampu menembus satu jiwa tapi satu penyuluhan mampu menembus jutaan jiwa, maka peran kita sebagai penyuluh ini diutamakan sebelum penindakan,” kata dia. (Red Irwan)

Red Irwan



Komentar