SAMARINDA — Sidang lanjutan perkara sengketa lahan di Jalan PM Noor, Samarinda, kembali menyita perhatian publik setelah majelis hakim memutuskan untuk menunda jalannya sidang pada Rabu, 29 Oktober 2025. Penundaan dilakukan lantaran pihak pelawan, Ernie Aguswati Hartojo, belum siap menghadirkan saksi-saksi yang telah dijadwalkan untuk memberikan keterangan di hadapan majelis hakim.

Keterlambatan menghadirkan saksi ini membuat proses persidangan harus kembali molor. Padahal, publik telah menantikan perkembangan dari perkara panjang yang melibatkan sejumlah pihak dan telah melalui berbagai tingkatan peradilan. Dalam agenda kali ini, majelis hakim sejatinya telah menjadwalkan pemeriksaan saksi untuk memberikan klarifikasi terhadap dalil gugatan perlawanan yang diajukan oleh pihak pelawan terhadap pihak terlawan.
Sebelumnya, pada persidangan tanggal 22 Oktober 2025, pihak Terlawan II, I Nyoman Sudiana, dan Terlawan III, Rahol Suti Yaman, melalui kuasa hukumnya, Pamela Pramidya, S.H., dan Roszi Krissandi, S.H., telah menyerahkan sebanyak 35 bukti surat. Puluhan bukti tersebut meliputi dokumen jual beli tanah, surat keterangan kepemilikan, hingga putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Bukti-bukti itu menjadi dasar kuat pembelaan pihak terlawan atas klaim yang kembali diajukan oleh Ernie Aguswati Hartojo.
Kuasa hukum pihak terlawan menyebutkan bahwa gugatan perlawanan yang diajukan Ernie dianggap tidak memiliki dasar hukum yang kuat, mengingat perkara tersebut telah selesai hingga tingkat Mahkamah Agung (MA). Dalam putusan MA sebelumnya, lembaga tertinggi peradilan itu telah mengesahkan sahnya proses jual beli antara Dr. H. Amransyah (Terlawan I) dengan dua pihak pembeli, yakni I Nyoman Sudiana dan Rahol Suti Yaman.
Putusan MA tersebut sekaligus menolak gugatan dari Heryono Admaja, suami Ernie Aguswati Hartojo, yang sempat menggugat keabsahan transaksi tersebut. Putusan itu dinilai final dan mengikat karena telah melalui seluruh proses peradilan mulai dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, hingga Mahkamah Agung. Namun, Ernie kemudian mengajukan gugatan perlawanan (derden verzet) dengan dalih adanya kekeliruan dalam pelaksanaan eksekusi lahan yang menurutnya masih menyisakan hak milik keluarga.
Dalam sidang yang berlangsung di ruang utama Pengadilan Negeri Samarinda, majelis hakim yang diketuai oleh seorang hakim senior terlihat cukup tegas saat menanyakan kesiapan pihak pelawan. Setelah kuasa hukum Ernie mengakui bahwa saksi yang telah dijadwalkan tidak dapat hadir karena alasan kesehatan dan waktu yang berbenturan, majelis akhirnya memutuskan untuk menunda sidang hingga waktu yang akan ditentukan kemudian.
Penundaan ini menambah panjang daftar hambatan dalam proses hukum yang telah berlangsung lebih dari dua tahun. Sejumlah pihak menilai, perkara ini menjadi salah satu contoh kompleksitas sengketa lahan di Samarinda yang kerap melibatkan berbagai aspek hukum perdata, administrasi, dan bahkan sosial ekonomi.
Sengketa lahan di Jalan PM Noor ini bermula dari peralihan kepemilikan tanah yang diklaim oleh beberapa pihak dengan dokumen yang berbeda. Di satu sisi, terdapat pihak yang mengaku sebagai pemilik sah berdasarkan surat jual beli yang telah dilegalisasi, sementara di sisi lain, terdapat pihak yang mengklaim bahwa lahan tersebut masih termasuk dalam aset keluarga besar yang belum pernah dialihkan secara sah.
Dalam perkara ini, Ernie Aguswati Hartojo bertindak sebagai pelawan yang menentang pelaksanaan eksekusi atas lahan yang telah dimenangkan oleh pihak terlawan melalui putusan inkracht Mahkamah Agung. Ia berpendapat bahwa proses jual beli tanah antara Dr. H. Amransyah dan pembeli tidak memenuhi unsur hukum yang sah serta menuduh adanya ketidaksesuaian administratif dalam penerbitan dokumen jual beli.
Meski demikian, pandangan hukum tersebut telah dibantah oleh pihak terlawan. Kuasa hukum mereka menegaskan bahwa seluruh proses jual beli dilakukan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku dan telah melalui verifikasi notaris serta pejabat pertanahan setempat. “Kami menghormati upaya hukum pihak pelawan, namun kami yakin bahwa semua dokumen dan putusan terdahulu sudah sah. Tidak ada alasan untuk membatalkan atau menunda eksekusi yang telah diputuskan secara inkracht,” ujar Pamela Pramidya usai persidangan sebelumnya.
Penundaan sidang kali ini pun menjadi sorotan publik Samarinda. Sejumlah warga sekitar lokasi lahan mengatakan bahwa polemik tersebut telah lama berdampak terhadap aktivitas masyarakat. Sebagian lahan yang disengketakan berada di area yang strategis, dan beberapa bagian telah digunakan untuk kegiatan komersial. “Kami berharap kasus ini segera selesai, karena banyak warga yang tidak tahu harus berpihak ke siapa,” ujar salah seorang warga yang enggan disebut namanya.
Pihak pengadilan sendiri menyampaikan bahwa jadwal ulang sidang akan diumumkan setelah pihak pelawan memastikan kesediaan saksi-saksi untuk hadir. Majelis hakim menekankan pentingnya kehadiran saksi guna memperjelas dalil-dalil gugatan, serta agar proses peradilan dapat berjalan efektif tanpa penundaan berkepanjangan.
Kasus sengketa lahan seperti ini memang bukan hal baru di Samarinda. Dalam beberapa tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi dan pembangunan infrastruktur di kota tersebut telah memicu peningkatan nilai tanah yang signifikan, sehingga banyak lahan lama menjadi objek perebutan kepemilikan. Beberapa di antaranya bahkan melibatkan keluarga besar, perusahaan, dan institusi hukum yang masing-masing mengklaim memiliki dokumen sah.
Bagi kalangan praktisi hukum, perkara PM Noor menjadi salah satu contoh penting dalam memahami mekanisme gugatan perlawanan terhadap putusan inkracht. Meski hukum memperbolehkan pihak ketiga untuk mengajukan perlawanan apabila merasa dirugikan oleh pelaksanaan putusan, namun beban pembuktian tetap berada di tangan pihak pelawan. Tanpa bukti kuat atau saksi yang relevan, gugatan semacam ini umumnya sulit diterima.
Kini, semua mata tertuju pada sidang lanjutan yang akan datang. Publik menunggu apakah pihak pelawan mampu menghadirkan saksi yang dapat memperkuat dalilnya atau justru semakin mengukuhkan kekuatan hukum pihak terlawan. Jika saksi gagal hadir kembali, bukan tidak mungkin majelis hakim akan memutuskan melanjutkan perkara tanpa keterangan tambahan dari pihak pelawan.
Dalam konteks hukum, keberanian mengajukan gugatan perlawanan seperti yang dilakukan Ernie Aguswati Hartojo mencerminkan hak setiap warga negara untuk mencari keadilan. Namun, keadilan dalam sistem peradilan juga menuntut kedisiplinan dalam pembuktian, kehadiran saksi, dan kesesuaian fakta hukum. Seperti disampaikan salah satu pengamat hukum lokal, kasus ini menjadi pelajaran berharga bahwa kepastian hukum tidak hanya bergantung pada putusan hakim, tetapi juga pada komitmen para pihak untuk mematuhi prosesnya secara konsisten.
Dengan ditundanya sidang kali ini, publik kembali menanti babak lanjutan dari sengketa yang telah menahun. Apakah akan muncul bukti baru yang dapat mengubah arah perkara, atau justru memperkuat legitimasi hukum yang telah ditegakkan Mahkamah Agung sebelumnya — semuanya akan terjawab di ruang sidang berikutnya.
(SNI / Redaksi Samarinda)










Komentar