Disusun Oleh: Dominique Keisya Salim
Dosen Pengampu: Herley Windo Setiawan, dr., Sp.P
MATA KULIAH: Logika dan Pemikiran Kritis
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
Tahun 2025
Beberapa tahun terakhir, kesadaran masyarakat mengenai kesehatan gigi dan mulut mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Perkembangan media sosial dan kemudahan akses internet telah membuka peluang bagi masyarakat untuk memperoleh berbagai informasi terkait perawatan dan kesehatan gigi. Fenomena ini tentu membawa dampak positif, di mana semakin banyak orang yang rutin memeriksakan kondisi giginya ke dokter gigi. Tidak jarang orang-orang melakukan prosedur perawatan estetika seperti pemasangan kawat gigi, pembersihan karang gigi (scaling), pemutihan gigi (bleaching), hingga veneer.
Definisi Malapraktik dalam Kedokteran Gigi
Menurut Kazarian (2020) dalam bukunya yang berjudul Criminalising Medical Malpractice: A Comparative Perspective, malapraktik dapat didefinisikan sebagai suatu tindakan medis yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang tidak sesuai dengan standar profesi yang berlaku, baik disebabkan oleh kelalaian (negligence) maupun kesengajaan (intentional misconduct), yang pada akhirnya mengakibatkan kerugian bagi pasien. Dalam konteks kedokteran gigi, pelaku malapraktik adalah individu yang berprofesi sebagai dokter gigi namun melakukan tindakan di luar koridor standar profesi yang telah ditetapkan.
Etika Profesi sebagai Fondasi Pencegahan Malapraktik
Berdasarkan Kode Etik Kedokteran Gigi Indonesia (KODEKGI), setiap dokter gigi memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan kesehatan yang didasarkan pada keilmuan, kompetensi yang memadai, serta kejujuran. Etika profesi dapat diibaratkan sebagai kompas moral yang harus selalu menjadi panduan dalam menjalankan praktik kedokteran gigi.
Terdapat empat prinsip dasar etika medis yang harus dipegang teguh, yaitu:
- Nonmaleficence: setiap tindakan medis harus dipastikan tidak menimbulkan bahaya atau kerugian bagi pasien.
- Beneficence: setiap tindakan medis harus bertujuan untuk memberikan kebaikan dan manfaat bagi kesehatan pasien.
- Autonomy: mengharuskan dokter gigi untuk menghargai hak pasien dalam mengambil keputusan terkait perawatan mereka sendiri.
- Justice: pelayanan kesehatan harus diberikan secara adil tanpa diskriminasi.
Pentingnya Pendidikan Berkelanjutan di Era Teknologi
Perkembangan dunia kedokteran gigi di era modern ini tidak dapat dipisahkan dari kemajuan teknologi yang begitu pesat. Munculnya berbagai inovasi teknologi seperti digital dentistry, sistem CAD/CAM (Computer-Aided Design/Computer-Aided Manufacturing), serta penggunaan aligner transparan (clear aligners) menuntut para dokter gigi untuk terus memperbarui pengetahuan dan keterampilan mereka secara berkelanjutan.
Komunikasi Efektif dan Informed Consent
Komunikasi yang tidak efektif atau bahkan buruk sering kali menjadi akar permasalahan dari banyak kasus malapraktik yang terjadi. Setiap pasien memiliki hak fundamental untuk mendapatkan informasi yang transparan dan jelas mengenai kondisi kesehatan gigi dan mulut mereka, prosedur perawatan yang akan dilakukan, serta risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi selama atau setelah tindakan.
Oleh karena itu, dokter gigi memiliki kewajiban untuk memberikan penjelasan yang rinci, komprehensif, dan mudah dipahami sebelum melakukan tindakan medis. Proses ini dikenal dengan istilah informed consent atau persetujuan tindakan medis yang didasari oleh informasi yang memadai. Informed consent bukan hanya merupakan kewajiban hukum semata, tetapi juga merupakan bentuk penghormatan terhadap hak otonomi pasien dalam menentukan pilihan perawatan untuk diri mereka sendiri.
Evaluasi Sejawat sebagai Kontrol Kualitas
Pencegahan malapraktik juga dapat dilakukan melalui mekanisme evaluasi sejawat atau peer review. Praktik ini memungkinkan para dokter gigi untuk saling menilai dan memberikan umpan balik terhadap tindakan medis yang dilakukan oleh rekan sejawat mereka secara profesional dan konstruktif.
Evaluasi sejawat tidak dimaksudkan untuk mencari kesalahan atau menyalahkan rekan kerja, melainkan sebagai sarana untuk saling belajar dan meningkatkan kualitas pelayanan secara kolektif. Dengan membangun budaya kerja yang saling mengingatkan, berbagi pengalaman, dan berdiskusi mengenai kasus-kasus yang menantang, para dokter gigi dapat tumbuh bersama dalam hal integritas profesional dan kompetensi klinis yang tinggi. Budaya seperti ini akan menciptakan lingkungan praktik yang lebih aman bagi pasien dan lebih suportif bagi para praktisi.
Peran Edukasi Masyarakat dalam Pencegahan Malapraktik
Dokter gigi tidak hanya berperan sebagai penyembuh atau pemberi layanan kesehatan semata, tetapi juga memiliki tanggung jawab sebagai pendidik bagi masyarakat. Memberikan edukasi kepada masyarakat luas tentang pentingnya memeriksakan kesehatan gigi dan mulut kepada dokter gigi yang berizin dan kompeten, menjelaskan bahaya dan risiko dari praktik tukang gigi ilegal atau praktisi tidak bersertifikat, serta membangun kesadaran masyarakat tentang hak-hak mereka sebagai pasien merupakan bagian integral dari tanggung jawab sosial profesi kedokteran gigi.
Kesimpulan
Pencegahan malapraktik dalam praktik kedokteran gigi merupakan tanggung jawab bersama yang memerlukan komitmen kuat dari setiap dokter gigi untuk senantiasa menjunjung tinggi etika profesi, terus meningkatkan kompetensi melalui pendidikan berkelanjutan, menjalin komunikasi yang efektif dengan pasien, melakukan evaluasi sejawat secara berkala, dan aktif mengedukasi masyarakat. Dengan pendekatan yang komprehensif dan komitmen yang konsisten terhadap standar profesi, kasus malapraktik dapat diminimalkan, kepercayaan masyarakat dapat terjaga, dan profesi dokter gigi dapat terus berkembang dengan integritas yang tinggi demi kesejahteraan pasien dan kemajuan kesehatan masyarakat secara keseluruhan.
Referensi:
- Kazarian, M. (2020). Criminalising Medical Malpractice: A Comparative Perspective. Taylor & Francis.
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
- Kode Etik Kedokteran Gigi Indonesia (KODEKGI).
















Komentar