Resensi Buku Alih Aksara Tambo Surau Subarang: Pertalian Adat Dan Syarak di Minangkabau (Apria Putra)

Penulis: Rana Aulia Citra

Tambo adalah salah satu sumber tradisional yang berbicara tentang adat dan kebudayaan Minangkabau. Kedudukan tambo sangat penting yaitunya warisan kebudayaan yang mempunyai nilai tinggi, tambo menjadi acuan dan undang-undang tertulis tempat bercermin bagi masyarakat Minangkabau. Oleh sebab itu, hampir semua wilayah Minangkabau mempunyai tambo yang diwariskan secara turun temurun.

A. Isi Buku

Dalam buku ini terdapat Tambo-tambo Adat Minangkabau yang beredar dan dipegang oleh para penghulu semuanya ditulis dalam Arab Melayu. Ini membuktikan kuatnya unsur Islam dalam penulisan tambo tersebut. Namun, tidak banyak ditemui tambo adat Minangkabau yang menjabarkan tentang aspek pertalian adat dan syarak secara gamblang. Salah satu naskah tambo yang berisi tentang penjalasan adat dipadukan dengan pelajaran syarak ialah Naskah Tambo Surau Subarang. Naskah ini memiliki keunikan tersendiri yaitu pembahasannya yang bertalian dengan ilmu tauhid, akidah Asy’ariyah. Naskah ini disinyalir merupakan teks yang pertama mengaitkan dengan pembahasan akidah yang merupakan pokok dalam agama Islam.

Tambo Surau Subarang merupakan teks tulisan tangan yang sudah berusia lebih dari satu abad. Dari analisa bahan kertas diperkirakan bahwa teks Tambo Surau Subarang ditulis sekitar akhir abad ke-19. Selain dari bahan kertas dan corak tulisan, informasi terkait keberadaan naskah tidak ditemukan. Teks tidak memberikan informasi mengenai tahun penulisan serta penulisnya, sehingga naskah ini tergolong teks anonymous (majhul).

Dalam mukaddimah, pengarang hanya memberikan informasi bahwa teks ini disarikan dari beberapa kitab tanpa ada penjelasan tambahan. Dari isi naskah diketahui beberapa nama kitab yang dikutip, yaitu Tahsin al-‘Aql dan Matan Zubad. Kitab pertama tidak dapat ditelusuri lebih lanjut. Sedangkan kitab kedua, Zubad, adalah kitab fiqih Syafi’iyyah karangan Ibnu Ruslan Addimasyqi yang sangat populer di pesantren Indonesia. Selain itu terdapat banyak kutipan hadis dan ungkapan ulama, ini mengindikasikan bahwa tambo ini juga merujuk kepada beberapa kitab hadis dan kitab ulama lainnya.

Naskah tambo Surau Subarang tidak mempunyai judul. Untuk memberikan identitas maka naskah ini kemudian diberi judul Tambo Surau Subarang merujuk kepada skriptorium naskah ini yaitu Surau Subarang yang terletak di Nagari Taram, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat. Kemudian untuk memberikan penjelasan terhadap isi naskah di bawah judul diberikan penjelasan tentang pertalian adat dan syarak di Minangkabau.

Naskah Tambo Surau Subarang secara fisik masih baik. Tidak terdapat cacat pada kertas layaknya naskah yang sudah berusia lebih dari satu abad. Alas naskah yang digunakan ialah kertas lokal bergaris. Ukuran naskah yaitu 16,5 x 21 cm, dengan blok teks rata-rata 12 x 17,5 cm. Khat yang digunakan yaitu naskhi yang cukup rapi. Teks dapat dibaca jelas. Bahasa yang digunakan ialah bahasa Melayu bercampur dengan bahasa Minangkabau. Sedangkan aksara yang dipakai ialah aksara Arab.

Naskah di dalam buku ini berisi tentang uraian tambo adat, yang berisi hukum-hukum, kebijaksanaan, dan hikmah. Hal yang menarik dari tambo ini bahwa pembahasannya dimulai dengan pembahasan Sifat Dua Puluh, yaitu kajian tentang akidah, keyakinan Muslim, berdasarkan konsep yang dibangun oleh Imam Asy’ari dan Imam Maturidi. Teks tentang akidah tersebut diletakkan pada pembahasan adat mutlak.
Setelah menjelaskan sifat Dua Puluh serta menghubungkannya dengan adat Minangkabau, maka penulis Tambo, dalam hal ini anonymous, memberikan penjelasan soal term-term adat lainnya seperti cupak, hukuman-hukuman pada adat, sangsi, serta adab kesopanan di tengah masyarakat.

B. Persamaan dan perbedaan antara Tambo Surau Subarang dengan Jurnal Pengaruh Islam Pada Tambo Dalam Narasi Sejarah Asal Muasal dan Transformasi Sosial Masyarakat Minangkabau

Sebelumnya, di dalam jurnal Pengaruh Islam Pada Tambo Dalam Narasi Sejarah Asal Muasal dan Transformasi Sosial Masyarakat Minangkabau terdapat beberapa pembahasan Tambo di dalamnya yaitu tantang Undang-undang Minangkabau, Undang-undang Nan Sambilan Pucuk.

Persamaan

Menggunakan metode penelitian filologi.
Dalam buku dan jurnal yang saya baca terdapat persamaan menyangkut adaik basandi syarak basandi kitabullah sudut pandang perpaduan nilai-nilai adat Minangkabau dengan ajaran Islam. tidak hanya menyangkut persoalan sosial keagamaan, tetapi juga dalam bidang penyusunan warisan sejarah suku. Guru-guru dan ulama sangat berpengaruh dalam menulis dan mempelajari tambo di surau-surau mereka. Sejarah para ulama menyebarkan ajaran islam.

Dalam buku, secara garis besarnya Naskah ini berisi tentang uraian tambo adat, yang berisi hukum-hukum, kebijaksanaan, dan hikmah. Hal yang menarik dari tambo ini bahwa pembahasannya dimulai dengan pembahasan Sifat Dua Puluh, yaitu kajian tentang akidah, keyakinan Muslim, berdasarkan konsep yang dibangun oleh Imam Asy’ari dan Imam Maturidi. Teks tentang akidah tersebut diletakkan pada pembahasan adat mutlak.
Setelah menjelaskan sifat Dua Puluh serta menghubungkannya dengan adat Minangkabau, maka penulis Tambo, dalam hal ini anonymous, memberikan penjelasan soal term-term adat lainnya seperti cupak, hukuman-hukuman pada adat, sangsi, serta adab kesopanan di tengah masyarakat.

Dalam jurnal, naskah Tambo ini menjelaskan tentang asal-usul terbentuknya masyarakat Minangkabau di Nagari Pariangan, menjelaskan lahirnya sistem pewarisan pusako kepada kemenakan, dan menjelaskan tentang nilai-nilai sosial, budaya dan adat istiadat Minangkabau yang diintegrasikan dengan agama Islam. Hal ini dapat dilihat dari: kutipan-kutipan ayat Al-qur’an dan riwayat hadist yang digunakan sebagai dalil penguat pada naskah tambo ini.
Lalu bahasa yang digunakan sama-sama menggunakan bahasa Melayu-Arab Minangkabau, ditulis dalam aksara Jawi.

Perbedaan

Dari segi sejarah atau penelusuran
Dalam buku Bermula dari Syekh Abdul Jalil seorang pedagang yang merantau dari daerah Simpang Kapuak (daerah mudiak Limapuluh Kota). Dengan niat mencari pemukiman baru dan mencari penghidupan, sampailah Syekh Abdul Jalil dan beberapa orang dari Simpang Kapuak di Taram. Di sana mereka membuka pemukiman dengan seizin penduduk setempat. Lalu di sana Syekh Abdul Jalil banyak belajar beberapa ilmu agama, termasuk thariqat. Syekh Abdul Jalil juga mendapatkan ijazah Silek Kumango.

Kumango menjadi salah satu silat tradisional yang sangat kental dengan ajaran tasawuf. Setelah menuntut ilmu pada beberapa guru, Abdul Jalil “Ongku Padang” kemudian bermukim di Taram, tepatnya di seberang aliran sungai yang dikenal dengan Batang Sinamar. Di sana dia mendirikan surau sebagai tempat untuk mengajarkan agama terutama tasawuf. Meskipun bukan daerah asalnya, Syaikh Abdul Jalil diterima baik oleh masyarakat. Dalam pergaulan dia dijadikan salah satu pemuka dan tokoh.

Ketika Surau Tuo rusak dimakan usia, Syaikh Abdul Jalil dipercaya masyarakat untuk memperbaiki surau tersebut. Padahal Surau Tuo merupakan salah satu bangunan bersejarah dan dianggap sakral oleh masyarakat setempat. Kepercayaan ini membuktikan bahwa Syaikh Abdul Jalil menjadi salah satu panutan di masanya. Bukan hanya itu, ketika wafat, Syaikh Abdul Jalil juga dimakamkan di pelataran Mesjid Baitul Kiramah Taram sebagai penghormatan masyarakat terhadap sosok sufi ini.

Syaikh Abdul Jalil mempunyai anak, salah satunya bernama Duhan. Dan Duhan adalah sosok yang kemudian menjadi pewaris dari Syaikh Abdul Jalil. Syaikh Duhan, selain selain tokoh agama, dia juga sebagai tokoh adat dengan gelar Datuak Mongguang. Ketika ditahbis sebagai penghulu, Syaikh Duhan kemudian mulai mempelajari adat, hingga mempunyai koleksi naskah berupa Tambo Adat. Tambo Surau Subarang merupakan salah satu koleksi naskah Surau Subarang peninggalan Syaikh Duhan Dt. Mongguang, yang kemudian diwariskan oleh cucunya Syaikh H. Angku Mudo Sawir. Naskah tersebut kemudian selalu dibcaca dan diuraikan kepada jamaah-jamaah pengajian di Surau Subarang. Dengan artian, meskipun fisik naskahnya sudah tua, namun ajaran-ajarannya masih tetap hidup di tengah-tengah masyarakat, terkhusus jamaah Syaikh H. Angku Mudo Sawir tersebut.

Dalam jurnal Penulisan awal Tambo ini bertepatan dengan masa tumbuhnya semangat penulisan sejarah yang terjadi di wilayah Melayu. Hal ini diawali dengan adanya islamisasi besar-besaran pada masa transformasi Kerajaan Pagaruyung menjadi Kesultanan Pagaruyung. Kemudian, ditambah dengan populernya “trend” penulisan naskah dalam bahasa Melayu dan menggunakan aksara Jawi, pada abad tersebut (Collin 2009). Begitu pula dengan penjelasan kisah-kisah adat Minangkabau, baik dari persoalan warisan, pembentukan nagari, dan penjelasan tentang hukum adat, semuanya telah diintegrasikan dengan Islam (Hendro, et al. 2022). Hal ini menggambarkan kuatnya pengaruh Islam terhadap masyarakat Minangkabau dalam menyusun narasi sejarah etnis mereka (Pratama2022).

Kedatangan Islam secara damai tidak memaksakan pengaruh dan budayanya dengan cepat, melainkan membutuhkan waktu dalam penerimaan dan perkembangannya di masyarakat. Islam mampu berakulturasi dengan masyarakat sehingga masyarakat secara tidak sadar digiring untuk menggunakan cara-cara Islami melalui budaya yang ada (Mustawhisin, Puji dan Hartanto 2019, Muslim 2018, Robbie, Saputra dan Afifah 2021). Seperti yang terjadi pada penceritaan dan penulisan tambo itu sendiri setelah kuatnya nilai-nilai Islam dalam narasi sejarah, fondasi struktur sosial, serta sistem adat dan politik masyarakat Minangkabau.

Pembahsan teks naskah tambo “Undang-Undang Adat Minangkabau” koleksi Surau Parak Laweh Pariangan menunjukkan bahwa Tarekat Syatariyah selain berperan dalam hal dakwah Islam, juga ikut dalam pembaharuan Islam lewat gerakan Paderi di tanah Minangkabau, kelompok Tarekat Syatariyah juga memiliki keahlian dalam adat istiadat Minangkabau. Hal ini tampak dalam penulisan sejarah Minangkabau yang menyampingkan kehadiran peradaban Pagaruyuang Pra-Islam, serta narasi integrasi adat istiadat Minangkabau dengan ajaran Islam, mulai dari pembentukan nagari, pemilihan pemimpin, persoalan pewarisan harta pusako dan lain sebagainya.

Menampilkan narasi perperangan tiga Datuk dengan Belanda yang tidak sesuai dengan fakta sejarah yang ada, juga menunjukkan bahwa tak hanya “mengislamisasi” sejarah etnis dan adat istiadat orang Minangkabau, penulisan Tambo ini oleh Tarekat Syatariyah di Surau Parak Laweh Pariangan ditujukan juga sebagai proses penanaman praktik jihad dalam melawan kolonialisme. Sehingga Tambo tidak hanya dilihat sebagai karya sastra berkonten sejarah dan adat istiadat saja, tetapi juga sebagai produk agenda politik suatu tarekat pada masa pembuatannya.

Kesimpulan

Sebagai hasil karya sastra masyarakat Minangkabau, Tambo dikatakan sebagai sastra sejarah, kata tambo digunakan sebagai judul cerita prosa lama yang disebut sastra sejarah atau historiografi tradisional, yaitu penulisan sejarah menurut kepercayaan atau pandangan masyarakat setempat secara turun temurun. Sejarah dan tujuan Tambo-tambo tersebut dapat kita sebarkan dan perkenalkan lagi kepada masyarakat agar tidak punah. karean muatan isinya yang berbicara tentang adat Minangkabau dan persenyawaanya dengan nilai-nilai agama Islam, yaitu tauhid. Sudah menjadi ciri khas tambo-tambo kuat dengan unsur Islam, seperti tulisannya menggunakan aksara Arab dan kutipan ayat al-Qur’an.

Penulis saat ini berdomisili di Cupak Tangah,Padang. Mahasiswi angkatan 2022 Jurusan Sastra Minangkabau, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas.

Posting Terkait

Jangan Lewatkan