Penulis : Siti Maisaroh Shadrina Syaiputri
Mahasiswa agribisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Negeri yang katanya penuh dengan kemakmuran. Tapi nyatnya tidak, negeri ini malah seperti mengkhianati rakyatnya sendiri. Negeri ini bernama indonesia, yang mempunyai tanah yang subur dan iklim yang bersahabat untuk pertanian yang merupakan bagian penting dalam kehidupan masyarakat. Seiring berjalannya waktu, petani-petani di negeri ini mulai terpinggirkan. Mereka tidak lagi memiliki hak dalam mengelola lahannya sendiri. Banyak yang terpaksa menyerahkan lahan hasil keringat dari pagi hingga sore kepada pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Fenomena pengambilalihan lahan oleh mafia tanah kerap terjadi di banyak tempat, seperti pelosok desa. Tanah-tanah petani diambil paksa tanpa memedulikan hukum yang sudah berlaku. Negara seakan abi, tidak peduli atas kasus yang telah menimpa rakyatnya. Mereka seakan gagal melindungi hak-hak para petani. Tetapi ini mejadi bukti bahwa negara memang memiliki kegagalan dalam menjaga kesejahteraan rakyat kecil di sektor pertanian.
Fenomena tersebut sangat berdampak pada petani. Mereka menjadi kehilangan semangat untuk bertani, dan menyerah pada profesi ini, dan beralih ke pekerjaan lain yang lebih menjanjikan. Generasi muda juga enggan meneruskan pekerjaan ini karena faktor-faktor yang ada di lapangan. Jumlah petani teus menurun, sementara disisi lain, ketergantungan negara terhadap impor pangan terus meningkat ditengah situasi ekonomi yang tidak menentu.
Sejak zamana dahulu, sistem pertanian tradisional seperti ladang berpindah di kawasan timur Indonesia dan sawah irigasi di Pulau Jawa telah menjai budaya turun temurun. Bahkan pada masa kerajaan, sektor pertanian telah menjadi pondasi utama dalam ekonomi negara. Para petani sangat dihargai oleh zaman itu, karena peran mereka sangat berarti bagi ketahanan pangan. Sayangnya, seiring berkembangnya zaman, hal itu tidak lagi menjadi pondasi utama, bahkan mulai terabaikan.
Saat zaman penjajahan, para petani dipaksa menanam komoditas tanaman oleh penjajah dengan tujuan kepentingan mereka sendiri. Setelah kemerdekaan, kebijakan yang pemerinta buat belum sepenuhnya memihak pada petani. Perkembangan lebih fokus tertuju pada pembangunan industri dan infrastuktur perkotaan, sementara lahan pertanian semakin menyusut bahkan sampai sekarang. Tanah petani diambil untuk kepentingan proyek pembangunan dan mafia tanah sangat memperburuk keadaan.
Kini, banyak petani yang terpaksa menyerahkan lahan mereka, karena tekanan dan keterpaksaan. Mereka tidak bisa melakukan apa-apa lagi, karena hukum yang lemah. Seperti sebuah kasus, di mana di toraja, sepasang petani harus reka kehilangan lahannya karena dirampas oleh oknum yag tidak bertanggug jawab. Dipaksa, sampai berlutut pun, mereka tak merasa kasihan. Meski sudah menolak untuk menjual lahan,milik mereka itu, tanah tersebut tetap diambil dengan harga yang dibayar sedikit, nominal yang jauh dari kata wajar. Kejadian ini bahkan sempat viral di media sosial beberapa waktu lalu.
Terlihat pada sebuah video tersebut, banyak aparat kepolisian ikut andil dalam perampasan lahan. Mereka yang seharusnya menjadi pelindung, dikala rakyat yang meminta pertolongan, justru merka lebih memlilih mereka yang memiliki banyak uang. Hukum di negeri ini cenderung tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Hak-hak petani yang terabaikan, keadilan yang mungkin tidak lagi ada. Sementara mereka, yang mempunyai harta yang berlimpah, dengan mudahnya mengambil yang bukan miliknya. Petani yang kerap kali memperjuangkan, seringkali menemui jalan buntu.
Hal ini juga terjadi di banyak desa di mana perusahaan sawit sekarang menguasai tanah mereka. Orang-orang hanya menjadi penonton di kampung halaman mereka daripada mengalami kesejahteraan. Mereka melihat pohon sawit menjulang tinggi di atas tanah yang dulunya digunakan untuk menanam padi, jagung, dan berbagai tanaman pangan lainnya. Sawah-sawah adalah sumber kehidupan di masa lalu, tetapi sekarang hanyalah hamparan pohon milik perusahaan besar. Penduduk desa tidak lagi memiliki kontrol atas tanah itu; mereka bahkan perlu mendapatkan izin untuk sekadar memetik buah sawit. Laporan “Hanya Bisa Jadi Penonton di Kampung Sendiri” menunjukkan bahwa penduduk di banyak desa di Kalimantan harus menghadapi kenyataan yang mengerikan dari menjadi buruh di tanah mereka sendiri sementara pemilik modal mendapatkan keuntungan besar.
Pemerintah harus memiliki kesadaran diri, ketahanan pangan tidak bisa berjalan jika tidak ada keadilan dan integritas. Negeri yang katanya makmur akan Sumber Daya Alamnya ini, sementara rakyatnya dibuat kelaparan, tidak bisa disebut negeri yang agraris, karena petani-petani belum mendapatkan keadilan, apalagi terusir dari tanahnya sendiri. Kebutuhan pangan yang terus diimpor, akan merugikan petani jika dilakukan terus menerus. Karena hal ini, pemerintah mulai dari sekarang bahka kemarin walau sudah terlamabat, harus menindak tegas mafia-mafia tanah dan perusahaan yang haus akan uang, yang membuat petani menagis darah. Bukan malah melindungi mereka seakan akan mereka malaikat yang harus dibalas budi.
Kebijakan-kebijakan agraris yang tidak sesuai dengan hak petani seharusnya ditiadakan, larena hal tersebut hanya menguntungkan pihak yang sudah berkuasa saja, seperti “penguasaan lahan oleh korporasi besar”. Hal tersebut membuat investor-investor licik dengan mudahnya mengakuisisi lahan dengan skala yang luas. Kebijakan tersebut membuat petai merugi, yang berakibat hilangnya mata pencaharian mereka. Lalu dengan adanya masalah lain tentang “kurangnya akses petani terhadap pasar dan modal”, petani sulit untuk menjual bahan pangan ke tengkulak, harga tersebut dipermainkan hingga petani terpaksa menerima penjualan pangan dengan hasil yang rendah.
Seharusnya pemerintah bsia mempercepat legalisasi tanah, agar petani bisa memastikan kepemilikan lahan, hal itu membuat petani tidak khawatir jika pihak-pihak lain ingin merebut kepemilikan lahan. Selanjutnya, dapat memudahkan akses petani ke pasar, dengan penguatan lembaga petani. Hal tersebut dapat mendukung pembentukan dan penguatan koperasi petani agar mereka memiliki daya tawar menawar yang lebih besar jika dibandingkan menjual ke tengkulak. Dan hasil pemasara hasil panen dan pembelian sarana produksi menjadi lebih optimal.
Mungkin kegagalan ini bisa diubah menjadi kemajaun dikemudian hari. Masalah ini bisa diselesaikan dengan hukum yang akan membaik juga. Keringat mereka yang menetes diteriknya matahari, bekerja keras untuk menjalani kerasnya kehidupan. Jika hal ini kerap terjadi dalam jangka panjang, kesejahteraan petani akan terancam, dan akan berdampak serius pada ketahanan pangan.
Ironi yang tidak boleh dibiarkan, tidak bisa hanya menjadi penonton. Jika bangsa ini rusak, maka semua akan terkena dampaknya. Petani merupakan tulang punggung negeri ini, penopang ketahanan pangan. Petani rapuh, maka negeri ini juga akan runtuh. Senyuman yang dulu menyejukkan hati, kini menjadi senyuman penuh arti. Penuuh kebingunan, dan juga kekhawatiran, tidak tenang dalam tidur, mimpi buruk yang seolah kembali nyata, sama seperti zaman penjajahan.
Harapan untuk negeri ini, di mana kebijakan yang sangat menyulitkan para petani. Harus berubah demi kesejahteraa petani. Walaupun tidak tau kapan terjadi. Rakyat akan terus berjuang menyuarakan keadilan sampai air mata kering. Tidak akan lelah demi kemakmuran negeri ini yang telah berubah oleh penjahat-penjahat. Bersuaralah sampai hak direbut kembali.