Jum’at|05 Desember 2025|Pukul|09:50|WIB
Mediapatriot.co.id|Langkat|Sumatera Utara|Berita Terkini – Air bah yang menerjang Kabupaten Langkat sejak 27 November 2025 bukan sekadar bencana alam.
Ia menjelma menjadi potret luka sosial, luka ekologis, sekaligus luka kepercayaan warga terhadap pemangku kebijakan.

Hampir satu pekan lamanya ribuan warga terjebak dalam kepungan air tanpa kepastian, tanpa listrik, tanpa jaringan komunikasi – dan, yang paling menyakitkan, tanpa bayang-bayang kepedulian nyata dari pejabat yang seharusnya hadir di garda terdepan.
Dari Tanjung Pura hingga ke wilayah sepanjang aliran Sungai Wampu, banjir menenggelamkan rumah, memutus akses jalan, menghentikan aktivitas ekonomi, dan menggiring warga ke tenda-tenda darurat yang sesak serta minim fasilitas. “Kami mau ke mana pun tak bisa,” keluh seorang pengungsi, menggambarkan betapa seluruh jalur darat berubah menjadi lautan kecokelatan yang tak berujung.

Ketika gelombang air datang, harapan warga seolah dipaksa surut.
Pada saat listrik padam total dan internet lumpuh, mereka tak hanya kehilangan komunikasi, tetapi juga kehilangan suara – suara yang seharusnya sampai ke telinga pemerintah.
Di tengah kekacauan itu, penjarahan dilaporkan terjadi di Kecamatan Tanjung Pura, dipicu rasa panik dan putus asa warga yang berusaha menyelamatkan diri sementara rumah mereka Hampir tenggelam dihantam arus.
Harga sembako naik, gas melon langka
Di pasar darurat yang terbentuk secara spontan di sekitar pengungsian, harga bahan pokok melonjak tajam. Gas 3 kilogram menjadi barang langka.
Warga menghadapi situasi krisis ganda:
kekurangan pangan dan ketidakpastian keamanan.

“Bukan hanya air yang menghantam kami, tapi juga kesunyian pejabat,” ujar seorang warga lainnya. “Seakan-akan kami dibiarkan menghadapi nasib sendiri.”
Sungai Wampu Mengingatkan: Bencana Ini Tidak Datang Sendiri
Para tokoh masyarakat dan relawan lingkungan menyebut banjir besar kali ini bukanlah tragedi alami semata.
Hulu Sungai Wampu yang dahulu dipagari vegetasi rimbun di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), kini disebut banyak mengalami degradasi.
Pembukaan lahan sawit di area sensitif hulu hingga mendekati hilir, ditambah hilangnya kawasan mangrove di pesisir Langkat, diduga kuat memperburuk daya tampung air.
“Hutan gundul bukan hanya persoalan lingkungan.

Ia adalah undangan terbuka bagi bencana,” kata seorang pemerhati lingkungan. “Ketika hujan turun, air tidak lagi memiliki rumah untuk singgah. Ia langsung masuk ke pemukiman warga.”
Pertanyaan pun mengemuka: di mana penegakan hukum?
Siapa yang seharusnya menjaga garis hijau sungai?
Siapa yang mengawasi konsesi sawit yang semakin mendesak kawasan konservasi?
Dan mengapa warga selalu menjadi pihak pertama yang disalahkan dan terakhir yang diselamatkan?
Kepercayaan Politik yang Terendam Bersama Rumah Warga

Fenomena banjir ini meninggalkan jejak psikologis yang jauh lebih dalam.
Banyak warga mulai menyuarakan hilangnya kepercayaan terhadap pesta demokrasi mendatang – pilgub, pilbup, maupun pileg.
“Bagaimana kami bisa percaya pada calon pemimpin, ketika dalam masa sulit seperti ini, jejak sepatu mereka pun tak terlihat?” keluh seorang tokoh masyarakat.
Kekecewaan itu bukan sekadar reaksi emosional.
Ia adalah refleksi dari jurang realitas antara warga yang kehilangan segalanya dan para pengambil keputusan yang jarang terlihat di titik bencana.
Renungan untuk Masa Depan Anak Cucuk
Di sela tenda pengungsian yang becek dan gelap, warga mempertanyakan masa depan.
Bukan hanya masa depan rumah mereka, tetapi masa depan anak dan cucu mereka – generasi yang kelak harus mewarisi tanah yang semakin rentan akibat ulah manusia, bukan semata-mata kehendak alam.
“Ini cobaan. Cobaan besar. Tapi juga pengingat keras bahwa kita sedang kehilangan arah,” ujar seorang ibu yang menggendong balitanya, mata sembap setelah enam hari mengungsi.
Banjir Langkat 2025 bukan hanya kisah tentang air yang meluap, tetapi tentang air mata yang tumpah.

Tentang warga yang berjuang dengan sisa tenaga.
Tentang alam yang menuntut haknya.
Dan tentang negara yang, bagi banyak orang, terasa berjalan terlalu lambat.
Jika tragedi ini tidak dijadikan momentum untuk memperbaiki tata kelola lingkungan, memperkuat kesiapsiagaan bencana, dan menata ulang komitmen pejabat terhadap rakyatnya, maka Langkat bukan hanya sedang kebanjiran hari ini – tetapi sedang menunggu bencana berikutnya.
Semoga dari derita ini, keberpihakan kembali menemukan jalannya.
Karena warga sudah terlalu sering basah oleh air, jangan sampai juga basah oleh kekecewaan.
(Ramlan|Mediapatriot.co.id|Kabiro Langkat)


















Komentar