Jalan Demokrasi Oleh Muhammad Najib

Rezim Non-Demokrasi Dulu, Kini, dan Mendatang
Membicarakan jalan demokrasi pengalaman Indonesia, Turki, dan Mesir, meskipun dunia telah memasuki era demokrasi sebagaimana ditulis oleh Fukuyama. Banyak rezim non-demokratis terutama di Asia, Afrika, dan Amerika Latin yang masih bertahan. Menurut brookers, ada empat alasan yang menjadi penyebabnya: Pertama, gelombang demokratisasi kehilangan momentumnya pada awal 1990-an, sehingga menyisakan sejumlah rezim non-demokratis. Kedua, kembalinya sejumlah rezim non-demokratis ke tampuk kekuasaan di awal abad ke-21. Ketiga, rezim non-demokratis telah memainkan peranan penting dalam politik dan pemerintahan dalam berbagai bentuknya. Keempat, peran penting yang dimainkan oleh negara-negara non-demokratis dalam bidang politik dan ekonomi, baik secara regional maupun global.
Rezim-rezim non-demokratis modern biasanya mengklaim dirinya sendiri sebagai pemerintahan demokratis sembari memainkan organisasi atau kepemimpinan. Napoleon Bonaparte menggunakan referendum untuk mendapatkan legitimasi rezim diktator militer yang dibangunnya, merupakan pola lama yang dipraktikan sejak imperium Romawi sampai era modern saat ini. Substansinya adalah bagaimana kekuasaan yang diinginkan bisa diraih, kemudian dapat diterima oleh publik, walau dengan cara memanipulasi kehendak rakyat. Hal serupa dilakukan oleh politisi sipil dengan menggunakan instrumen partai politik yang digerakan oleh ideologi tertentu.
Pada tahun 1917 revolusi Rusia menggunakan ideologi partai politik dan dimulai oleh ideologi komunisme. Diikuti oleh fasisme oleh Mussolini di Italia pada tahun 1920-an sampai 1930-an, kemudian rezim Nazi oleh Hitler di Jerman, lalu rezim komunis di China oleh Mao Zedong. Perang Dunia ke-2 menghancurkan rezim fasis di Jepang dan Italia, serta rezim Nazi di Jerman, namun rezim otoriter baru yang berideologi komunisme ternyata bertambah banyak. Di kawasan ASEAN, muncul rezim komunis di Kamboja dan Vietnam, sementara di negara-negara anggota ASEAN lainnya pengaruh komunis sangat kuat yang memberikan dampak terhadap kepemimpinan nasional yang kekiri-kirian, termasuk Indonesia. Di kawasan Afrika dan Amerika Latin, selain komunisme yang digunakan sebagai landasan ideologis juga berkembang sosialisme.
Dari sebagian uraian di atas, terlihat jelas bahwa semua rezim non-demokratis tidak peduli bagaimana proses kelahirannya, ideologi apa yang menggerakannya, serta organisasi apa yang menjadi kendaraannya, tetap memerlukan legitimasi. Walaupun masalah pemerintahan non-demokratis telah disinggung sejak Plato, Republic, Hobes, Leviathan, maupun Rosseau, akan tetapi untuk masalah pentingnya legitimasi atau otoritas yang absah bagi sebuah rezim, maka tidak dapat dihindari dari tiga sumber legitimasi (Traditional, Legal Rational, and Charismatic) yang pertama kali dikemukakan oleh Weber. Rezim-rezim non-demokratis biasanya menggunakan “Legal Rational” yang kadang-kadang dikombinasi dengan sumber legimitasi lainnya, yang dalam implementasinya dilakukan dengan cara paksaan baik secara halus maupun kasar.

Pemerintahan Non-Demokratis
Ada banyak teori tentang bentuk pemerintahan non-demokratis yang dapat dilihat dari pilihan istilah yang digunakan seperti: totaltarianisme, autoritarianisme, komunisme dan fasisme. Brookers menggunakan pembagian secara tajam antara rezim demokratis dan non-demokratis, yang memiliki konsekuensi hanya ada dua pengelompokan besar rezim non-demokratis yaitu totaltarianisme dan otoritarianisme. Ilmuwan politik lain seperti Diamond, Linz, dan Lipset memiliki formulasi yang berbeda dengan mengenalkan pendekatan skala, dimulai dari rezim non-demokratis sampai hampir demokratis. Pendekatan ini digunakan oleh organisasi seperti Freedom House atau The Economist yang menetapkan nilai untuk mengukur tingkat atau derajat demokrasi berbagai rezim di seluruh dunia. Dengan demikian dapat dibandingkan satu rezim dengan rezim lainnya dalam tingkat kedemokratisan atau tingkat ketidakdemokratisannya.

Berbeda dengan pemerintahan non-demokratis tradisional yang lebih memperhatikan pada aspek siapa yang memimpin dan bagaimana cara memimpinnya, rezim non-demokratis modern lebih memperhatikan aspek ideologi yang menjadi sumber legitimasi, struktur organisasi dan agenda politik yang ini dicapainya. Karena itu, masakah militer atau partai politik yang menopangnya kurang mendapat perhatian, atau menjadi tidak terlalu penting. Untuk melihat lebih mendalam, maka akan dirujuk pengelompokan besar yang digunakan oleh Brookers, dimana semua jenis rezim non-demokratis dapat dimasukan ke salah satu dari kelompok dbawah.

Totalitarianisme
Ada tiga orang tokoh atau ilmuwan politik yang dirujuk Brookers terkait dengan pemikiran atau konsep tentang totalitarianisme: pertama, Hannah Arendt (1951) dalam The Origin of Totalitarianisme dengan teori klasiknya: kedua, Friedrich and Brzezinski (1956) dalam Totalitarian Dictatorship and Autocracy juga dengan teori klasiknya, dan ketiga, Schapiro (1972) dengan teori totalitarianisme generasi kedua. Istilah “totalitarianisme” sendiri pertama kali muncul tahun 1920-an sampai 1930-an di Italia saat rezim fasis Mussolini berkuasa. Mussolini mendefinisikan totalitarianisme sebagai bagian dari negara, tidak ada hal di luar negara, dan tidak ada yang boleh melawan negara (nothing outside of the State, nothing against the State). Dengan kata lain totalitarianisme merupakan bentuk total dari kediktatoran.
Arendt menyebut totalitarianisme sebagai bentuk ekstrem dari kediktatoran. Ia mengambil contoh rezim fasis Nazi yang dipimpin Hitler dan rezim komunis yang dipimpun Stalin. Perbedaan jenis ideologi di antara kedua rezim totaliter ini tidak dipandang terlalu penting oleh Arendt. Baginya, fungsi ideologi yang menggerakan dan memasuki hampir seluruh aspek kehidupan setiap warga negara yang lebih menentukan. Dipilihnya lawan atau korban sebagai sasaran menjadi tidak terhindarkan, ketika mereka memerlukan semacam kambing hitam sebagai pelampiasan kemarahan yang dibangun. Jika Nazi memilih kaum Yahudi sebagai sasaran, Komunisme memilih kaum borjuis atau kapitalis. Polisi rahasia memiliki peran sangat penting untuk memastikan agenda politik yang diinginkan betul-betul bisa berjalan, sekaligus untuk mencari penghalang untuk diberikan hukuman.
Friedrich dan Brzezinski’s memberikan definisi yang lebih luas tentang totalitarianisme dibanding Arendt. Di samping mengambil komunisme di Rusia, Nazi di Jerman, Fasisme di Italia, juga memasukan rezim-rezim komunis di Eropa Timur dan China, sebagai rujukan yang kemudia melahirkan enam aspek kediktatoran yang saling terkait. Keenam aspek tersebut adalah: ideologi, partai tunggal, polisi rahasia, monopoli informasi, monopoli senjata, dan sistem ekonomi yang tersentralisir.
Schapiro sejatinya memiliki pendekatan yang sama dengan Frederich dan Brzezinski dengan enam variabel yang saling berhubungan, lima karakter garis batas, dan tiga instrumen aturan atau pilar. Pada bagian yang terakhir ini Schapiro memasukan pilar mobilisasi massa dan polisi rahasia yang memiliki tugas meneror rakyat. Teori yang dikemukakan Schapiro kemudian dikenal dengan teori totalitarianisme generasi kedua.

Otoritarianisme
Istilah “Otoritarianisme” sendiri digunakan begitu luas yang membuat sulit untuk mengembangkan teori yang dapat mencakup kasus-kasus yang berbeda tanpa terperangkap ke dalam kajian yang dangkal atau kehilanga relevansinya. Secara umum otoritarian dapat digambarkan sebagai situasi di mana kebebasan dibatasi oleh penguasa, dan penguasa sendiri bekerja dengan sedikit batasan.
Linz memberikan kategori rezim otoriter dengan empat ciri:
Adanya toleransi tehadap kelompok-kelompok yang berbeda walau sangat terbatas atau dibatasi, termasuk kelompok politik dan partai yang berbeda dengan partai penguasa
Adanya ideologi yang dijadikan pegangan sehingga pendekatan yang digunakan untuk mengarahkan masyarakat lebih menitikberatkan pada pendekatan emosionla dibanding rasional.
Adanya mobilasasi politik yang dilakukan baik secara intensif maupun ekstensif.
Seorang pemimpin atau sekelompok kecil elit mengendalikan kekuasaan yang di dalam partai komunis dikenal dengan istilah “polit biro”.

Tokoh-tokoh lain yang berbicara masalah otoritarianisme antara lain: O’Donnell dengan apa yang dokenal dengan “autoritarianisme birokratis”, Perlmutter, Coller & levitsky, Bradley Glasser, dan Theodor Adorno.

Munculnya Rezim Otoriter
Pengertian “otoriter” itu sendiri berasal dari bahasa Inggris “authority” yang merupakan turunan dari kata Latin “auctoritas” yang berarti otoritas, kuasa, pengaruh , atau wibawa. Kata ini kemudian berkembang menjadi otoritarianisme untuk menggambarkan sebuah paham atau pendirian yang berpegang pada otoritas, kekukasaan, kewibawaan, yang meliputi cara hidup dan cara bertindak. Beberapa ciri otoritarianisme:
Penganut otoritarianisme akan berpegang pada kekuasaan sebagai acuan hidup.
Ia akan menggunakan wewenan sebagai dasar berpikir dan bertindak.
Ketika berhadapan dengan orang lain, ia akan menanakan kedudukannya (sebagai apa) dalam lembaga atau organisasi.
Dalam membahas masalah, ia tidak akan mempersoalkan hakikat dan kepentingannya, tetapi berhak ikut campur dan mengurus perkara yang dipersoalkannya.
Seorang otoritarian akan membatasi pekerjaa seseorang, yaitu agar orang tersebut bekerja menurut prosedur dan aturan yang ada.
Jika orang itu tidak mengerti dan tidak menjalannkan tugasnya dengan baik, ia akan dianggap bersalah.
Dalam menjalankan tugasnya dengan baik dalam menyampaikan gagasan, pemikiran, dan pesan, orang otoritarian hanya mengenal satu bentuk komunikasi, yaitu intruksi.

Suatu rezim dapat lahir melalui sebuah revolusi yang didukun oleh rakyat secara luas, atau melalui kudeta berdarah atau tidak berdarah, atau dapat juga muncul dari rezim yang demokratis kemudian menjadi otoriter karena tekanan politik atau ekonomi, atau kombinasi dari keduanya.
Beberapa varian rezim otoriter temuan dari sejumlah pakar yang melakukan penelitian serius akan disajikan untuk memperkaya wawasan dalam masalah ini. Ellen Kay Trimberger (1978) menemukan lahirnya rezim otoriter melalui proses pengambil alihan kekuasaan yang dilakukan oleh birokrat militer dan sipil senior, yang didukung oleh sedikit atau tanpa dukungan dan partisipasi massa, dengan relatif sedikit kekerasaan, dan hanya sedikit menggunakan ideologi, tetapi lebih menggunakan perubahan bertahap dan bersifat pragmatis. Pendekatan ini kemudian dikenal dengan nama “Revolusi dari Atas” , karena sistem pemerintahan yang digerakan sepenuhnya oleh elite penguasa tanpa melibatkan partisipasi dari rakyat. Thomas Hammond (1975) menemukan kombinasi antara semangat ideologi yang dikombinasi dengan kekuatan militer yang dilakukan oleh negara asing, ketika rezim Komunis Uni Soviet menginvasi sejumlah negara di Eropa Timur dan Asia Tengah yang kemudian melahirkan rezim boneka otoriter, seperti yang dialami Jerman Timur (1953), Hungaria (1956), Cekoslovakia (1968). Tapi Hommand juga menemukan lahirnya rezim otoriter dengan pola yang berbeda dengan yang dialami oleh China, Yugoslavia, Albania, dan Vietnam yang walaupun dipengaruhi oleh ideologi Komunis, tetapi faktor-faktor eksternal dan internal ikut mendorong revolusi yang diikuti oleh lahirnya rezim otoriter.

Cara Bertahan Rezim Otoriter
Cara rezim-rezim otoriter bertahan lama, pada umumnya menggunakan paksaan dengan pendekatan brutal, mengembangkan polisi rahasia yang bertugas memata-matai penduduk, mengembangkan teror yang melahirkan rasa takut. Rezim otoriter modern mucul belakangan dan sebagian mampu bertahan sampai saat ini sudah lebih canggih dan lebih lunak. Mereka mengombinasikan pemanfaatan teknologi modern dan legitimasi berupa kepercayaan rakyat yang dikuasainya.
Memata-matai rakyat tidak perlu lagi secara fisik atau secara langsung, akan tetapi dilakukan menggunakan peralatan penyadap telepon untuk memonitor dengan siapa saja orang-orang yang dicurigai berkomunikasi dan apa saja yang dibicarakan. CCTV yang dikombinasikan dengan teknologi satelit dapat memonitor ke mana saja yang bersangkutan bergerak dan berapa lama berada di lokasi tertentu. Cara lain yang lebih halus lagi yaitu klaim melalui kinerja, di mana kepatuhan rakyat dipelihara melalui pemenuhan kebutuhan dan pelayanan yang baik bagi masyarakat oleh negara, baik dalam bentuk pembangunan fisik, kesejahteraan sosial, maupun jaminan keamanan. Selain itu, dikembangkan aspek psikologi publik mengenai kebaikan bangsa, atau kebangsaan nasional
Negara-negara otoriter kaya di Timur Tengah kini menggunakan kekayaannya untuk mengendalikan rakyatnya dengan cara memanjakannya dengan berbagi fasilitas dari negara. Mulai dari sekolah gratis, rumah sakit gratis, tempat tinggal, makanan, listrik, dan bensin murah. Gaji tinggi dan berbagai subsidi yang terus mengalir dari pemerintah kepada seluruh rakyatnya. Elite yang loyal akan mendapatkan berbagi fasilitas, sampai pada penyuapan bila perlu.

Rezim Semi Otoriter
Semiotoritarianisme adalah bentuk pemerintahan yang tidak sepenuhnya otoriter, tetapi juga tidak sepenuhnya demokratis. Ia merupakan semacam campuran antara otoriter dan demokratis, atau dapat dikatakan negara demokratis dengan kebebasan sipil dan politik yang terbatas. Sejumlah pakar politik memasukannya dalam zona abu-abu antara otoriter dan demokrasi. Sejak 1990-an, jumlahnegara yang masuk zona ini semakin banyak, sejalan dengan semakin kuatnya isu demokrasi yang diiringi dengan suksesnya sejumlah negara yang mengimplementasikan demokrasi.
Steven Levitsky dan Lucan way (2002) mengidentifikasikan adanya tiga jalur yang menghasilkan rezim semacam ini. Jalur pertama adalah rezim yang semula otoriter kemudian ambruk, baik karena tekanan eksternal maupun internal. Jalur kedua adalah rezim yang otoriter kemudian secara bertahap membuka keran kebebasan sehingga terjadi proses gradual menuju sebuah negara demokratis yang sesungguhnya. Jalur ketiga adalah negara yang semula demokratis, dikarenakan munculnya masalah-masalah sosial dan politik yang tidak berkesudahan sehingga mengganggu pertumbuhan ekonomi yang mendorong penguasa untuk mengurangi atau membatasi kebebasan sosial maupun politik.
Secara teoritis para pakar politik berbeda pendapat bagaimana menempatkan rezim seperti ini. Apakah harus dimasukkan dalam golongan negara otoriter, atau negara demokratis, atau dibuatkan klasifikasi baru dengan menyebutnya sebagai rezim hibrida. Jika dimasukkan dalam kelompok ketiga (sebagai rezim hibrida), lalu apakah mereka akan permanen atau bersifat temporer sebagai sebuah etape menuju negara demokratis yang sebenarnya.
Untuk membedakan antara satu rezim hibrida dengan rezim hibrida yang lain, Terry Karl (1995,2005) mengusulkan definisi sebagai rezim yang mengombinasikan pemilihan bebas dan adil, namun tidak memenuhi syarat minimal untuk disebut sebagai negara demokratis. Definisi Terry Karl ini sejatinya menempatkan rezim hibrida sebagai rezim yang demokratis hanya saja karena syarat-syarat tertentu belum terpenuhi sehingga ia dimasukkan dalam kelompok hibrida.
Robert A.Dahl mengusulkan kriteria yang berbeda. Menurut Dahl, rezim hibrida cenderung memberikan banyak atau sebagian besar politik yang dibutuhkan untuk kontestasi politik, namun rezim cenderung mengontrol politik sehari-hari dengan menyisihkan kelompok sosial tertentu, dengan membatasi kelompok sosial tertentu, membatasi parlemen, serta lembaga yudisial.
Syamsuddin Haris memberikan resep bagaimana sebuah negara yang mengalami transisi demokrasi agar bisa segera beranjak menuju konsolidasi demokrasi, dengan kata lain tidak terperangkap ke dalam rezim hibrida. Konsolidasi, saling percaya dan kerja sama di antara komponen-komponen civil society dalam rangka pendidikan, pencerdasan, dan kesadaran rakyat sebagai warga negara agar mampu menggunakan hak-haknya secara benar dan bertanggung jawab. Bagi Syamsuddin Harris, rakyat merupakan faktor kunci dari keberhasilan konsolidasi demokrasi. Tanpa keberadaan rakyat sebagai “warga negara” yang sadar akan hak dan tanggung jawabnya, mustahil demokrasi baik dalam politik maupun ekonomi dapat terwujud.


Klik Logo Diatas
Streaming 100.3FM Radio Elgangga

Siapakah Calon Walikota Bekasi 2024? Polling Diselenggarakan Oleh mediapatriot.co.id

View Results

Loading ... Loading ...


Baca Juga Berita Terbaru Hari Ini Seputar Politik, Pendidikan, Ekonomi, Bisnis, Sosial, Budaya, Pertahanan, Keamanan, Luar Negeri dan Dalam Negeri



Promosi Produk Harga Murah dengan Diskon Besar Hanya di Media kami Hubungi Bagian Promosi & Iklan mediapatriot.co.id KLIK DISINI


Posting Terkait

Jangan Lewatkan