Pertalian Adat dan Syarak di Minangkabau

Penulis: Fahresa Jufrina

(ahasiswa universitas andalas jurusan Sastra Minangkabau fakultas Ilmu Budaya)

A. Pengertian adat
Pengertian adat Minangkabau secara umum adalah peraturan dan undang-undang atau hukum, yang berlaku dalam kehidupan sosial masyarakat Minangkabau, terutama yang bertempat tinggal di alam Minangkabau, Sumatera Barat. Secara harfiah istilah adat berasal dari bahasa arab “adah” yang berarti kebiasaan. Menurut KBBI adat berarti aturan, cara, kebiasaan, maupun wujud gagasan kebudayaan yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu.
Adat juga dipahami sebagai aturan perbuatan yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu. Penjelasan di atas mempertegas kalau adat dalam konteks Minangkabau merupakan aturan-aturan yang berlandaskan pada kebiasaan masyarakat Minangkabau sejak dahulu. Kebiasaan yang dimaksud adalah perilaku masyarakat Minangkabau yang selalu bermusyawarah dan bermufakat dalam memutuskan segala sesuatunya. Seperti yang dikatakan dalam pepatah Minangkabau, “Bulek aie dek pambuluah, bulek kato dek mupakat” bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat (Yulika 2012: 8).

B. Dasar filsafat adat Minangkabau
Dalam adat Minangkabau terdapat beberapaPenulis  ketentuan yang memberikan ciri khas kepada adat Minang sebagai falsafah dan pandangan hidup. Ketentuan itu adalah fatwa-fatwa adat Minang berdasarkan ketentuan alam nyata. Pertumbuhan dan perkembangan adat Minang semenjak dahulu kala secara garis besarnya terbagi atas dua priode; yaitu priode sebelum Islam datang dan priode setelah Islam datang.
Sebelum Islam dianut oleh masyarakat Minang, tata nilai kehidupan masyarakat Minang umumnya dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu dan Buda Sebelum tahun 914 Masehi di Minangkabau terdapat kebudayaan Hindu, dan sebagai bukti sejarah, ditemukannya Candi Muara Takus. Namun kebudayaan Hindu ini tidak mempunyai bekas dalam kebudayaan Minang. dan ketentuan adatnya hanya didasarkan pada kaidah-kaidah alam yang diformulasikan oleh pikiran manusia sesuai dengan keinginannya, sehingga bisa terjadi prilaku atau perbuatan tidak terpuji tetapi dibenarkan oleh adat.
Ketentuan-ketentuan ini digambarkan dalam berbagai bentuk dan corak yang merupakan pernyataan langsung dari ketentuan-ketentuan itu berupa petatah petitih, pantun, gurindam dsb. Umumnya mengandung anjuran dan aturan dalam bertingkah laku berdasarkan ketentuan alam secara langsung dengan perumpamaan. Inilah yang dimaksud oleh petatah petitih adat yang berbunyi “Panakiak pisau sirauik, ambiak galah batang lintabuang, silodang ambiak kanyiru. Nan satitik jadikan lauik, nan sakapa jadikan gunuang, alam takambang jadi guru”
Jadi sebelum agama Islam masuk ke Minangkabau, nenek moyang orang Minang telah menjadikan sunnatullah yang terdapat dalam alam ini sebagai dasar adat Minangkabau. Apa yang terjadi di alam dijadikan sebagai guru atau i’tibar bagi kehidupan Alam yang terkembang di hadapan kita sebagai makhluk
Allah adalah flora, fauna dan benda alam lainnya. Pada alam ini berlaku hukum alam (sunnatullah) Berdasarkan hukum alam ini dibuatlah ketentuan adat berupa petatah petitih, misalnya : api panas dan membakar, air membasahi dan menyuburkan, kayu berpokok, berdahan, berdaun, berbunga dan berbuah, lautan berombak, gunung berkabut, ayam berkokok, kambing mengembek, harimau mengaum dsb.
Jadi pada dasarnya pada priode ini adat Minang telah mendasarkan ajarannya kepada sunnatullah (hukum alam) sebagai guru dan i’tibar. Pada taraf ini adat hanya bersendikan alur dan patut. Setelah Islam datang ke Minangkabau Sampai dengan masa pemerintahan Adityawarman (1347-1376), kerajaan Pagaruyung (Minangkabau) masih menganut agama Budha. Barulah pada masa anaknya Ananggawarman yang bergelar Raja Alif, Minangkabau telah menjadi Islam.
Secara berangsur-angsur tata nilai kehidupan masyarakat Minang berubah dan dipengaruhi oleh ajaran Islam. Semenjak itu ada yang rumusannya tidak lagi didasarkan pada musyawarah dan mufakat, akan tetapi berdasarkan ketetapan dan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-nya. Namun yang harus difahamni adalah bahwa ketika Islam datang ke Minangkabau bukan tidak terjadi konflik antara adat dan Islam, akan tetapi konflik itu akhirnya menyatu menjadi integrasi antara adat dan Islam.
Tahapan-tahapan yang dilalui sampai mengambil bentuk integrasi itu adalah sbb : Tahap pertama adalah tahap adat basandi alua jo patuik dan syarak basandi dalil. Dalam tahap ini adat dan syarak jalan sendiri-sendiri dalam batas-batas yang tidak saling mempengaruhi. Masyarakat Minang mengamalkan agamanya dalam bidang akidah dan ibadah, sedangkan bidang sosial mereka memberlakukan adat.
Tahap kedua adalah adat basandi syarak dan syarak basandi adat. Dalam tahap ini salah satunya menuntut hak mereka kepada pihak lain sehingga keduanya sama-sama dibutuhkan tanpa ada yang tergeser. Pada tahap ini terjadi adat dan syarak saling membutuhkan dan tidak bisa dipisahkan. Hubungan kekerabatan di Minang mulai diperluas melalui sistim bako anak pisang.
Tahap ketiga adalah tahap adat basandi syarak dan syarak basandi Kitabullah, syarak mangato adat mamakai. Pada tahap ini antara adat dan syarak telah terintegrasi. Ini berawal dari kesepakatan yang dibuat di Bukit Marapalam.
Berdasarkan penjelasan tersebut sesungguhnya dapat dijelaskan tiga bentuk derajat falsafah adat Minangkabau.

  1. Bentuk yang berdasarkan agama, yang merupakan derajat tertinggi karena didasarkan pada firman Allah dan Sunnah Rasul-Nya.
  2. Bentuk yang berdasarkan kepada ketentuan-ketentuan terdapat dalam alam nyata yang dinyatakan dalam bentuk hukum alam atau sunnatullah.
  3. Corak dan derajat terendah adalah timbul dari buah fikiran manusia, seperti filosuf.
    Jadi dasar falsafah adat Minangkabau itu bertumpu pada ketetapanketetapan Allah dan Rasulnya, yang tertuang dalam Al-Quran dan Sunnah RasulNya, termasuk yang dapat dicermati dari ayat-ayat Kauniah yang berupa Sunnatullah (hukum alam). Sedangkan pemikiran para filosof Minang sendiri menempati posisi yang paling rendah dari dasar falsafat adat Minang tersebut.

C. Dasar Adat
Kata setengah ahli adat, asal adat itu nan lima. Tetapi pada ilmu tahqiq yang asal adat itu sifat yang tujuh. Maka apabila berdiri pada seorang manusia sifat yang tujuh ketujuhnya maka sempurnalah adat yang dipakainya dan ibadat yang diamalkannya, yaitu
• wujud
• hayat
• qudrat
• iradat
• sama’
• bashar
• kalam.
Demikian juga segala akal yang sempurna di atas sifat-sifat itu juga adanya

D. Adat Dan Syarak Itu Seperti Kayu
Tambahan lagi, adapun adat dan syarak itu adalah cewang seperti kayu-kayuan umpama bercangga dan berdahan, beranting dan berdaun pada canggah dan dahan itu. Adat berjalan sekehendaknya. Syarak berkehendak sendirinya. Sebab di atas ini telah dinyatakan bahwa pokok adat dan syarak itu tiga bangsanya, yaitu mutlak, muqayyad, mutani’. Maka fahamkan olehmu pada satu-satu pokok adat dan syarak ini ternyata ada cawang dan canggah adanya. Maka inilah cawang dan canggah yang empat bahwa hendak difahamkan bahagian satu-satu seperti diterangkan di bawah ini:
• Halur diturut, artinya mana-mana yang lurus dan yang dilurusi adat juga.
• Jalan ditempuh, artinya mana-mana yang telah biasa sepanjang adat yang ditempuh adanya.
• Lembago dituangi, artinya mana-mana yang dituangi itu adat juga tuangannya.
• Pusaka dironggohi, artinya mana-mana adat apabila dironggohi bernama adat tetap.
Maka yang empat yang di atas ini terhimpun fahamnya kepada adat. Maka adat itu yang dinamai ibadat, karena belas bekas yang empat itu mukhalathah dalamnya patut dan mumkin. Apabila mukhalathah patut dan mumkin pada suatu pekerjaan maka itulah yang menjadi muqayyad yakni Adat Muqayyad, seperti orang sembahyang yang kuasa berdiri betul maka adatnya sempurnalah. Dan apabila kita sudah faham bekas patut dan mumkin itu pada suatu barang maka sekira-sekiralah kita mendapat fahamnya lagi yaitu patut yang tidak dimakan mumkin. Umpama naik haji ke tanah Mekkah itu nyatalah patut tetapi tidak ada belanja dan tidak kuasa maka nyata tidak mumkin. Demikian lagi mumkin yang tidak dimakan patut, seperti samun, bakar, maling, curi atau sekalian yang keji-keji nyata pula mumkin melakukan tetapi tidak patut. Maka patut dan mumkin jugalah itulah yang menjadi halur adat, jalan adat, lembago adat, dan pusaka. Makanya menjadi adat ditempuh, diturut, dituangi, dironggohi adanya.

E. Syari’at Adat Dan Syarak
Pada menyatakan syari’at adat dan syarak seperti perbedaan bahwa yang hendak diterangkan di bawah ini. adapun kejadian adat itu yang telah dinyatakan di atas ini dari pada mufakat, sebab ini pekerjaan negeri itu dengan mufakat sekaliannya. Dan syarak itu ijma’ yang berempat saja, yaitu imam Syafi’i, Maliki, Hanafi, Hambali, atau ‘alim ulama. Tetapi sungguhpun mufakat dan ijma’ asal sekalian pekerjaan adat dan syarak maka tidak boleh juga tidak mempergunakan patut dan mumkin adanya, karena patut dan mumkin itu kesudah-sudahan ikhtiar memilih dengan sempurna ikhtiar. Maka yang mena’lukkan patut dan mumkin itu yaitu akal yang menjalani dengan sempurna akal pula. Maka apabila hasil pada suatu pekerjaan yang dalam patut dan mumkin tetapi tidak berkuasa patut dan mumkin itu maka itulah untung yang menyudahi adanya.

F. Tingkatan Adat
Di Minangkabau terdapat empat tingkatan adat yaitu: adat yang sebenar benar adat, adat yang diadatkan, adat yang teradat dan adat istiadat.
a. Adat yang sebenarnya adat (adat nan sabana adat).
Yang dimaksud dengan adat yang sebenar adat itu ialah kenyataan yang berlaku dalam alam yang merupakan qodrat ilahi atau sesuatu yang telah dan terus berjalan sepanjang masa seperti: adat api membakar, adat air membasahi, adat ayam berkokok , adat murai berkicau, adat laut berombak. Kalau diperhatikan hubungan antara sifat dengan yang diberi sifat dalam setiap contoh yang disebutkan diatas, terlihat adanya bentuk kelaziman hubungan. walaupun demikian masih dipergunakan kata “adat” (yang pada umumnya berarti kebiasaan) dalam setiap hubungan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa apa yang terjadi di alam ini tidak ada yang pasti secara mutlak. Walaupun dalam pertimbangan akal terdapat kepastian, namun tidaklah mustahil bahwa kebiasaan yang pasti itu suatu waktu tidak berlaku menurut kehendak allah. Oleh karena itu kelaziman seperti yang disebutkan diatas tetap disebut kelaziman secara adat. Kalau ada pengertian adat maka yang dimaksud dengan adat yang sebenarnya, adalah adat yang azim disebut. Keseluruhan adat itu didasarkan kepada alam nyata yang menjadi dasar fisafat adat Minangkabau.
b. Adat yang diadatkan.
Adat yang diadatkan yaitu sesuatu sesuatu yang dirancang dijalankan, serta diteruskan oleh nenek moyang yang mula menempati Minangkabau untuk menjadi peraturan bagi kehidupan masyarakat dari segala bidang. Orang Minangkabau mengetahui secara turun temurun bahwa perumus dari adat yang diadatkan itu dahulunya adalah dua orang tokoh adat yaitu Dt Ketumanggungan dan Dt Perpatih nan Sabatang, sebagaiman yang terdapat dalam tambo dan buku-buku adat. Kedua tokoh adat tersebut merumuskan adat atas dasar pengalaman dalam kehidupan dan kemampuannya dalam belajar dari kenyataan alam terkembang ini. Yang dijadikan pedoman dasar dari perumusan adat itu ialah kenyataan yang hidup dalam alam ini yang disebut adat yang sebenarnya adat. Adat yang diadatkan melingkupi seluruh segi kehidupan, terutama segi kehidupan sosial, budaya dan hukum. keseluruhannya tersimpul dalam undang yang dua puluh dan cupak yang empat. Kata “undang” berarti aturan yang harus dipatuhi oleh seluruh anggota masyarakat dengan sangsi yang dapat dikenakan oleh pimpinan masyarakat terhadap anggota yang melanggar. Sifat dari aturan ini adalah tidak tertulis, tetapi dapat diketahui oleh semua pihak. Kata “cupak” berarti alat penakar. Maksudnya ialah norma yang dijadikan standar untuk pengukur atau penilai tindakan seorang dalam kehidupan masyarakat.
c. Adat yang teradat
Adat yang teradat yaitu adat kebiadaan setempat yang dapat bertambah pada suatu tempat dan dapat pula hilang menurut kepentingan. Kebiasaan yang menjadi peraturan ini mulanya dirumuskan oleh ninik mamak pemangku adat dalam satu-satu negeri untuk mewujudkan aturan pokok yang disebut adat yang diadatkan, yang pelaksanaanya disesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat. Oleh arena itu adat yang teradat ini dapat berbeda antara satu negeri dengan negeri lain menurut keadaan, waktu dan kebutuhan anggotanya. adat seperti ini tergambar dalam pepatah adat. “Lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya, cupak sepanjang betung adat selingkaran negeri.” Bila diperbandingkan antara adat yang teradat dengan adat yang diadatkan, terlihat bedanya dari segi keumuman berlakunya. adat yang diadatkan bersifat umum pemakaiannya pada seluruh negeri yang terlingkup dalam suatu lingkaran adat yang dalam hal ini ialah seluruh lingkungan Minangkabau. umpamanya adat matriokal yang beraku dan diakui diseluruh Minangkabau. Walaupun kemudian mungkin mengalami perubahan, namun perubahan itu berlaku dan merata di seluruh negeri. Pelaksanaan adat matriokal (suami tinggal di keluarga istri) dapat berbeda dalam negeri-negeri. Umapamanya, Malam keberapa sesudah nikah suami diantarkan kerumah istrinya, atau malam keberapa anak daro harus menjelang dan bermalam dirumah orang tua suami, atau kamar deretan mana yang harus ditempati penganten baru dan lain tata cara yang menyangkut pelaksanaan matrilokal tersebut.
d. Adat Istiadat
Adat istiadat dalam pengertian khusus berarti kebiasaan yang sudah berlaku dalam suatu tempat yang berhubungan dengan tingkah laku dan kesenangan. Kebiasaan ini merupakan ketentuan yang dibiasakan oleh ninik mamak pemangku adat sebagai wadah penampung kesukaan orang banyak yang tidak bertentangan dengan adat yang diadatkan serta tidak bertentangan dengan akhlak yang mulia. Umpamanya adat main layang-layang sesudah musim menyabit padi, adat berburu pada waktu musim panas, adat main sepak raga pada waktu senggang sesudah musim kesawah, adat bertegak batu sesudah beberapa hari mayat terkubur. Keempat macam adat yang disebutkan diatas berbeda dalam kekuatannya, karena berbeda kekuatan sumber dan luas pemakaiannya. Yang paling rendah adalah adat istiadat. Adat istiadat ini dapat naik ketingkat adat yang teradat bila telah dibiasakan secara meluas serta tidak menyalahi kaidah pokok yang disepakati. Begitu pula adat yang teradat dapat menjadi adat yang diadatkan, bila kebiasaan itu telah merata keseluruh negeri dan telah disepakati kebaikannya oleh orang banyak. Keempat tingat adat itu dalam penggunaan sehari-hari di kelompokkan menjadi dua kelompok yaitu, adat yang tersimpul di dalamnya adat yang sebenarnya adat dan adat yang diadatkan. Dan yang kedua istiadat yang tersimpul di dalamnya adat yang teradat dan adat istiadat dalam arti yang sempit. Keseluruhannya menyimpan kata adat istiadat Minangkabau.

G. Kesalahan pada adat
Adapun salah pelanggaran pada adat itu:
• Pertama, salah kata, yaitu perkataan yang keji-keji dalam kerapan penghulu-penghulu atau kata yang menyakiti hati manusia dan sebagainya.
• Kedua, salah laku, yaitu perangai yang dha’if dimuka rapat penghulu-penghulu atau kelakuan yang menyimpang dari pada adat yang tersebut. Pergi tidak tampak punggung, datangnya tidak tampak muka oleh mamak penghulunya.
• Ketiga, salah tariak, umpama mengawini bekas isteri karib dalam adat, atau menerima piutang dengan harta atau barang kepunyaan adat tidak setahu penghulunya dan warisnya.
• Keempat, salah agiah, itu maka qiyaskanlah apabila salah tariak maka salah pula agiahnya.
• Kelima, salah jual, umpamanya menjual kepunyaan adat, misalnya menjual rumah gadang, sawah gadang, dan sebagainya, tidak setahu mamak dan penghulu.
• Keenam, bali, demikian juga apabila nyata salah jualnya maka salah pula belinya.

H. Sifat adat Minangkabau
Di dalam pepatah adat terdapat ucapan tentang sifat adat Minangkabau Yaitu: “Tidak lapuk oleh hujan, tidak lekang oleh panas, dialih tidak akan layu, dicabut tidak akan mati”. Pepatah ini menunjukkan kekuatan yang langgeng, tidak akan mengalami pengaruh dari luar. Disamping itu terdapat pula pepatah “sekali air besar sekali tepian beralih” yang mengandung arti bahwa adat dapat mengalami perubahan. Bila terjadi suatu perubahan besar yang diibaratkan dengan air besar atau banjir yang menggeser tepian. Hal ini berarti bahwa adat Minangkabau dapat menyesuaikan diri dengan suatu perubahan yang terjadi.
Adat yang sebenarnya adat yaitu ketentuan yang berlaku dalam alam menurut kodrat ilahi dan adat yang diadatan yang dirumuskan berdasarkan kepada adat yang sebenarnya adat itu, termasuk kedalam adat yang tidak mengalami perubahan, sebagaimana tidak berubahnya kodrat ilahi dan azalinya wahyu Allah. untuk adat seperti ini berlakulah pepatah adat: “tidak lapuk oleh hujan dan tidak lekang oleh panas”. Adat yang beginilah yang tidak akan bertentangan dengan ajaran agama, karena didasarkan kepada ayat-ayat allah yang terdapat dalam alam. Adat yang tidak akan mengalami perubahan itu diibaratkan dengan ucapan “Adat bersimpul mati” dengan arti disamping dapat mengikat kuat, simpulnya itupun tidak akan dapat dibuka oleh siapapun. Sekali sudah terikat akan terikat seperti itu selamanya.
Adapun adat yang dapat mengalami perubahan sebagaimana diibaratkan dengan ucapan “Sekali air besar sekali tepian berubah” ialah adat yang teradat dan adat istiadat karena keduanya dirumuskan oleh ninik pemuka adat sesuai dengan tempat dan keadaan tertentu. Dalam pelaksanaannya, adat seperti ini dapat berbeda dalam negeri yang satu dengan yang lainnya, seperti kata adat “cupak sepanjang betung dan adat sepanjang negeri”. Karena sifatnya yang tidak tertulis dapat menyesuaikan dirinya dengan perkembangan masyarakat. Adat yang dapat mengelami perubahan itu disebut “ adat bersimpul sintak” yang memiliki arti kuat dan dapat mengikat, bagi yang mengetahuinya mudah membuka simpul itu.
Dibalik semua itu ketika kita hendak mencoba memahami adat Minang, juga perlu untuk kita ketahui adalah nan ampek (yang empat) Yang dimaksud dengan yang empat itu adalah, bahwa patokan-patokan hidup itu didasarkan pada ungkapan-ungkapan yang disederhanakan dalam bentuk pasangan-pasangan aturan itu didasarkan atas empat patokan. Nan ampek itu ialah:

  1. Asal suku di Minangkabau adalah ampek; Bodi, Caniago, Koto dan Pilang.
  2. Mula-mula adat diciptakan oleh nenek moyang kita adalah; adat bajanjang naik batanggo turun,adat babarih babalabeh, adat baukua jo bajangko, adat batiru bataladan.
  3. Jalan yang harus dilalui dalam hidup ini ada empat; jalan mandata, jalan mandaki, jalan melereng dan jalan manurun
  4. Ajaran adat ada empat; raso, pareso, malu dan sopan.
  5. Dasar nagari ada empat; taratak, dusun, koto dan nagari.
  6. Kato-kato ada empat; kato pusako, kato mufakat, kato kamudian dan kato dulu.
  7. Hukum ada empat; hukum ilmu, hukum kurenah, hukum sumpah dan hukum perdamaian.
  8. dll.

Sumber

  • Apria Putra, Tambo Surau Subarang: Pertalian Adat Dan Syarak Di Minangkabau, Perpusnas Pres 2023
  • Bab II, Adat Dan Islam Di Minangkabau, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau
  • Afifi Fauzi Abbas, Konsepsi Dasar Adat Minangkabau, 2007

Klik Logo Diatas
Streaming 100.3FM Radio Elgangga

Siapakah Calon Walikota Bekasi 2024? Polling Diselenggarakan Oleh mediapatriot.co.id

View Results

Loading ... Loading ...


Baca Juga Berita Terbaru Hari Ini Seputar Politik, Pendidikan, Ekonomi, Bisnis, Sosial, Budaya, Pertahanan, Keamanan, Luar Negeri dan Dalam Negeri



Promosi Produk Harga Murah dengan Diskon Besar Hanya di Media kami Hubungi Bagian Promosi & Iklan mediapatriot.co.id KLIK DISINI


Posting Terkait

Jangan Lewatkan